Kamis, 15 Oktober 2009

UPAYA MENINGKATKAN KUALITAS PENDIDIKAN ANAK USIA DINI DI INDONESIA MELALUI PROGRAM PEMBELAJARAN AUDIO INTERAKTIF UNTUK GURU DAN ANAK DIDIK

Menggali Potensi Audio dan Radio Interaktif dalam Memberikan Layanan Pendidikan Anak Usia Dini di Indonesia

Oleh:
Drs. Denny Setiawan, M.Ed., Dra. Sri Tatminingsih, dan Afnidar, SPd., M.Sc.

Paper/Makalah ini telah diseminarkan dalam
Persidangan Antar Bangsa Pembangunan Malaysia- Indonesia Sempena dan Peluncuran Alumni UKM Cawangan Indonesia
4-5 April 2009, Hotel Park Lane - Jakarta


ABSTRAK

Dewasa ini pemerintah Indonesia melalui Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini sedang menggalakkan program pendidikan anak usia dini yang mencakup usia 0 – 8 tahun. Dalam upaya penggalakkan program tersebut, pemerintah Indonesia menghadapi berbagai masalah, diantaranya yang menonjol adalah bagaimana membuat sebanyak mungkin anak usia dini ikut dalam program pengembangan anak usia dini dan bagaimana menciptakan program pendidikan anak usia dini yang berkualitas. Berbagai model pembelajaran telah dijajagi oleh pemerintah Indonesia untuk menemukan model pembelajaran anak usia dini yang sesuai dan berkualitas serta dapat diaplikasikan di berbagai kondisi daerah di Indonesia. Menanggapi hal tersebut, pada tahun 2006 Pemerintah Amerika Serikat melalui program Decentralized Basic Education 2 (DBE2) yang dikelola oleh USAID mengajak Universitas Terbuka (UT) dan Pusat Teknologi informasi dan Komunikasi Pendidikan (PUSTEKKOM) mengembangkan program pembelajaran untuk pembelajaran anak usia Taman Kanak-kanak melalui teknologi sederhana yaitu audio interaktif. Program tersebut secara simultan dapat digunakan untuk melatih guru atau calon guru TK yang tidak mempunyai latar belakang pendidikan anak usia dini dan mengembangkan potensi anak didik secara optimal. Keikutsertaan berbagai pihak yang kompeten dalam pengembangannya, membuat program ini mampu mencapai kualitas yang tinggi dalam bidang pengembangan anak usia dini, khususnya usia 5-6 tahun. Teknologinya yang sederhana membuat program ini dapat diaplikasikan di berbagai kondisi daerah di Indonesia. Tulisan ini merupakan kajian tentang kemungkinan penerapan secara luas program IAI dan IRI di Indonesia dalam rangka memecahkan masalah pemerataan dan peningkatan layanan Pendidikan Anak Usia Dini di Indonesia
Pendahuluan

Dewasa ini Pemerintah Republik Indonesia melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini tengah gencar-gencarnya mengembangkan dan menyebarluaskan pendidikan anak usia dini (PAUD) ke seluruh pelosok Indonesia. Gerakan sadar PAUD ini dimulai dari timbulnya kesadaran pemerintah akan perlunya memperhatikan pendidikan anak sejak usia dini. Dalam upaya pemerataan dan peningkatan kualitas layanan PAUD, Pemerintah Indonesia menghadapi serangkaian masalah yang rumit. Berbagai model pendidikan jarak jauh telah dijajagi namun sampai saat ini tidak satupun model yang secara luas telah diaplikasikan ke seluruh pelosok Indonesia. Tulisan ini akan menguraikan peranan potensial yang dapat dimainkan oleh teknologi sederhana dalam membantu pemerintah Indonesia mensukseskan program layanan PAUD dan mendiskusikan apakah penggunaan CD player dan radio dapat menawarkan cara dengan biaya yang efektif (cost-effective) menuju pencapaian layanan PAUD berkualitas tinggi.

Sementara itu, program pembelajaran audio dan radio interaktif telah mencapai keberhasilan di dunia dalam beberapa dekade belakangan ini. Dengan pertimbangan tersebut, dalam rangka membantu Pemerintah Indonesia mengembangkan dan memeratakan layanan PAUD, The United States Agency for International Development (USAID) bermitra dengan Departemen Pendidikan Nasional Indonesia sedang mengimplementasikan program percontohan pembelajaran audio interaktif atau interactive audio instruction (IAI) untuk anak usia 5-6 tahun dan guru TK di tujuh provinsi. Tulisan ini mendiskusikan potensi IAI untuk menyampaikan layanan PAUD berkualitas tinggi dan kemungkinan mengambil program percontohan IAI sebagai sarana untuk memperluas layanan PAUD ke seluruh Indonesia. Tulisan ini menyimpulkan, dengan melihat pada tantangan pendidikan dasar yang lebih luas, pembelajaran audio dan radio interaktif dapat berperan dalam memenuhi kebutuhan pendidikan dasar Indonesia.



Latar Belakang

Berbagai studi yang dilakukan secara luas, telah secara jelas menunjukkan peranan PAUD dalam mengembangkan keterampilan kecakapan sekolah; akan tetapi di Indonesia, tingkat penerimaan anak usia 4-6 tahun secara nasional dalam pelayanan PAUD masih sangat rendah. Angka statistik menunjukkan bahwa anak berusia 4-6 tahun yang mendapat layanan PAUD bervariasi antara 8, 15 dan 20 persen (World Bank, 2006). Hal ini berarti bahwa mayoritas anak Indonesia tidak mendapatkan layanan PAUD.

Jika dilihat dari besarnya investasi yang telah ditanamkan pemerintah Indonesia dalam pendidikan, maka dapat dikatakan bahwa seluruh investasi Indonesia dalam pendidikan masih sangat kecil dibandingkan dengan negara berkembang lainnya. Investasi untuk pendidikan anak usia dini lebih kecil lagi, dimana pelayanan utama disediakan hampir 100% justru oleh sektor swasta. Pengguna utama pelayanan anak usia dini adalah anak dari masyarakat berpenghasilan besar (Unesco, 2005). Sementara anak yang berasal dari keluarga berpendapatan rendah tidak dapat menikmati program kesiapan sekolah sebelum masuk ke Sekolah Dasar. Berbagai studi menunjukkan bahwa terdapat hubungan langsung antara banyaknya anak yang mendapat layanan PAUD dengan rendahnya tingkat droup out sekolah dan anak yang mengulang kelas. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bila kita melihat bahwa di Indonesia, di daerah dengan droup out sekolah yang tinggi, anak-anak yang mendapat layanan PAUD masih sangat rendah (Unesco, 2005).

Menyadari pentingnya PAUD, Departemen Pendidikan Nasional menaruh perhatian besar pada penyediaan layanan PAUD di seluruh Indonesia, yaitu mengupayakan layanan yang lebih luas dan lebih berkualitas. Rencana stratejik Departemen Pendidikan Nasional menyatakan bahwa di akhir tahun 2009 paling sedikit terdapat satu lembaga PAUD di setiap kabupaten. Untuk itu pemerintah merencanakan untuk memberikan dana lebih dari 50% kepada lembaga PAUD yang melayani anak dari keluarga berpenghasilan rendah. Di lain pihak, pelatihan dan peningkatan kemampuan pendidik PAUD, termasuk guru Taman Kanak-kanak (TK), merupakan prioritas penting lainnya dari pemerintah. Direncanakan pada tahun 2009 akan dilatih 65.000 orang terdiri dari pengelola dan guru PAUD (The World Bank, 2006, No:2)

Selaras dengan tujuan PAUD yang dicanangkan pemerintah Indonesia, USAID Decentralized Basic Education Program’s Teaching and Learning Component (DBE 2) telah bermitra dengan dua institusi di bawah Departemen Pendidikan Nasional yaitu Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Pendidikan (Pustekkom) dan Universitas Terbuka (UT), dalam rangka mengembangkan program audio interaktif. Program ini, yang meliputi paket audio dan bahan ajar cetak untuk TK dan lembaga PAUD, mempunyai target anak usia 5-6 tahun dan guru TK dengan mengikuti kurikulum nasional TK Indonesia. Program ini didisain untuk memenuhi kebutuhan guru dan pendidik PAUD yang berpendidikan rendah dan tidak terlatih di Indonesia, dan secara simultan menyediakan materi kegiatan yang relevan dan berkualitas tinggi kepada anak TK. Seluruh program audio ini berbasis metodologi IAI yang mendorong belajar-mengajar aktif di TK.

Program percontohan IAI akan dilakukan selama 3 tahun dan akan menguji efektifitas model IAI ini dengan melibatkan kurang lebih 200 TK di 7 propinsi di Indonesia. Hasilnya akan menunjukkan apakah IAI merupakan pendekatan yang efektif termasuk dari segi biaya untuk memenuhi tujuan Departemen Pendidikan Nasional dalam memperluas dan meningkatkan kualitas pelayanan PAUD. Proyek percontohan IAI saat ini sedang diimplementasikan di 200 TK (baik TK nasional maupun Islami) dan lembaga PAUD di 7 propinsi, yaitu Aceh, Sumatra Utara, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Utara.



Apakah IAI itu?

IAI adalah sebuah metode pendidikan berbasis audio yang secara aktif melibatkan anak yang didisain secara hati-hati, dan direkam pada kaset, CD atau MP3 player. Pendekatan berbasis audio memungkinkan kualitas yang tinggi dan relatif murah untuk didistribusikan secara luas. Materinya sesuai dengan muatan lokal karena diproduksi dan diujicoba di Indonesia dengan kontrol kualitas yang dilakukan secara ketat. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa semua anak menerima materi yang telah distandarisasi. IAI juga dikenal dengan nama Pembelajaran Radio Interaktif atau Interactive Radio Instruction (IRI), perbedaan yang utama dengan IAI adalah program IRI disiarkan melalui radio. IRI dikembang pada tahun 1970an untuk memecahkan masalah prestasi belajar yang rendah dalam bidang matematika di SD Nicaragua. Sejak itu, banyak pemerintah di dunia telah mengadopsi metodologi ini untuk memberikan berbagai macam mata pelajaran kepada anak dengan berbagai latar belakang yang berbeda, termasuk masyarakat yang sulit terjangkau dan jauh dari sekolah formal. Jika digunakan dengan benar, IAI/IRI dapat menjadi sumber belajar yang efektif untuk melatih guru dan anak secara simultan, membangun keterampilan guru dan membuat mereka mampu memainkan peranan yang lebih aktif, sehingga terjadi proses belajar mengajar yang lebih interaktif.

Studi tentang program IAI dan IRI di lebih dari 24 negara selama 25 tahun terakhir secara jelas menunjukkan perbaikan yang konsisten dalam prestasi sekolah. Studi tersebut juga menunjukkan bahwa anak yang menerima IAI/IRI dalam kegiatan belajar informal menunjukkan prestasi yang sama atau lebih baik dari mereka yang belajar di sekolah negeri. Penelitian juga mengindikasikan bahwa anak di sekolah negeri yang menggunakan IRI menunjukkan prestasi yang lebih baik dari mereka yang belajar di sekolah yang tidak menggunakan IRI (Education Development Center, 2007)

IAI/IRI telah terbukti menjadi mekanisme yang efektif untuk melatih komunitas pendidik yang tidak mempunyai latar belakang pendidikan guru dan guru yang hanya mendapat sedikit pendidikan guru, menjadi guru yang lebih baik. IAI/IRI juga dapat menyediakan pendidikan kepada mereka yang tidak terjangkau oleh pendidikan konvensional–seperti mereka yang hidup di daerah terpencil atau mereka yang tidak mampu masuk ke sekolah konvensional. Pada tahun belakangan ini, program IAI/IRI telah didisain dan diimplementasikan di pra-sekolah, SD dan luar sekolah serta guru dan komunitas pendidik di berbagai negara, termasuk India, Mesir, Zambia, Nigeria and Honduras.

Penting untuk dicatat bahwa program IAI/IRI tidak didisain untuk merubah struktur pendidikan yang ada, tetapi apabila berhasil diaplikasikan, dapat menjadi sistem belajar yang melengkapi dan memperkuat kurikulum nasional. Program IAI/IRI didisain secara hati-hati sehingga dapat diaplikasikan dalam berbagai setting, termasuk formal dan non-formal.

Mengapa pembelajaran audio interaktif merupakan pilihan yang menjanjikan untuk menjembatani kesenjangan PAUD di Indonesia?

Sejumlah pengalaman global secara jelas menunjukkan bahwa jika dikembangkan dengan hati-hati dan diaplikasikan secara efektif, program IAI/IRI dapat membantu pemerintah dalam menjawab tantangan-tantangan dalam pendidikan, termasuk penyediaan layanan pendidikan berkualitas tinggi.

Kualitas

Tujuan program percontohan IAI adalah mengembangkan kualitas belajar mengajar PAUD dan meningkatkan kesiapan sekolah melalui:
menyediakan materi kegiatan berkualitas tinggi yang mengikuti kurikulum TK Nasional
secara simultan melatih guru dan mengajar anak
memfasilitasi belajar aktif dengan pendekatan berbasis PAKEM

Dalam rangka menjamin program yang berkualitas untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, proyek DBE 2 mengikuti suatu proses pengembangan yang sistematis dan telah terbukti efektif. Materi didisain berdasarkan praktek PAUD yang telah dikenal baik di Indonesia, mengikuti kurikulum nasional dan menggunakan materi PAUD yang kaya yang telah tersedia di Indonesia, termasuk lagu, cerita dan permainan. Untuk menjamin agar materi relevan dengan berbagai setting di Indonesia, tim pengembang yang terdiri dari unsur DBE 2, Pustekkom dan UT, bekerja secara dekat dengan berbagai stakeholder PAUD di Indonesia, termasuk orang-orang dari Direktorat PAUD, Ikatan Guru Taman Kanak-kanak (IGTK), perguruan tinggi yang menyelenggarakan program PAUD, dan guru-guru TK dari berbagai propinsi.

Suatu tim penulis naskah dari Pustekkom bertanggung jawab menulis naskah program audio yang kemudian diedit oleh ahli materi dari UT. Program diproduksi di Pustekkom dan diuji coba di dua atau tiga TK yang berbeda sebelum revisi dan produksi akhi dilakukan. Proses ini membantu menjamin bahwa kegiatan-kegiatan dalam program audio sesuai dan dapat dinikmati semua anak dan guru sehingga tujuan pendidikan dapat tercapai. Semua materi cetak juga melewati evaluasi formatif dan proses revisi.

Masing-masing TK dan lembaga PAUD yang berpartisipasi dalam program percontohan menerima paket materi yang meliputi:
• 1 CD player dan batere
• 106 CD berisi 40 menit program IAI
• Petunjuk Guru
• Empat Poster
• Lembar Kerja Anak
• Kartu nomor dan kartu huruf
• Gunting dan crayon

Guru TK yang berpartisipasi dalam program percontohan, mendapatkan pelatihan minimal dua kali yaitu cara menggunakan paket tersebut dan cara meningkatkan kualitas pembelajaran dengan menggunakan IAI.

Biaya

Studi yang luas mengidentifikasikan bahwa pengembangan dan penggunaan IAI/IRI berbiaya rendah jika dibandingkan dengan penyediaan layanan program yang berkualitas lainnya. Ketika dibandingkan dengan model penyampaian pendidikan konvensional dan teknologi lainnya, model IAI/IRI membuktikan lebih murah dalam hal pembiayaan. Biaya program televisi misalnya, biasanya sepuluh kali lebih tinggi per murid dari pada program radio (The World Bank, 2005, No: 52)

Praktis

UT saat ini menyediakan in-service training kepada kurang lebih 10,000 guru TK/PAUD dengan menggunakan pendekatan multi-media untuk menyampaikan materi yang sebagian besar bersifat teori. UT sedang menjajagi program percontohan IAI sebagai sarana untuk memperluas in-service training programnya, dan menambah elemen “belajar sambil melakukan” pada program pelatihannya. Model in-service UT yang dikembangkan berdasarkan program percontohan akan sangat membantu Departemen Pendidikan Nasional dalam mencapai target pelatihan dan upgrading 65,000 guru PAUD pada tahun 2009.

Dapatkah pembelajaran audio and radio interaktif membantu Pemerintah Indonesia menjawab tantangan pendidikan dasar?

Pemerintah Indonesia mempunyai rencana upgrading guru yang ambisius, membutuhkan lebih dari satu juta guru untuk menambah kualifikasi mereka pada tahun 2015. Dapatkah IAI/IRI menjadi sumber belajar yang murah yang dapat membantu pemerintah Indonesia memenuhi kebutuhan upgrading? Studi yang dilakukan di sejumlah negara mengindikasikan bahwa program IAI/IRI merupakan sarana yang efektif dalam mendukung pengembangan guru. Beberapa negara, termasuk Africa Utara, Guinea and Nigeria, sekarang telah mengimplementasikan IAI/IRI dengan sukses berdasarkan program pelatihan guru pre-service dan in-service. Dan, seperti telah dibicarakan sebelumnya, UT sedang mencari kemungkinan untuk guru PAUD dan mencoba mengintegrasikan program IAI ke dalam program pelatihan guru in-servicenya. Mempertimbangkan hal itu maka pendekatan IAI/IRI dapat lebih murah biayanya dari pada pelatihan tatap-muka traditional (face-to-face training). Program audio berbasis pelatihan guru akan menjadi pilihan yang menarik untuk dieksplorasi oleh Departemen Pendidikan Nasional.

Dapatkah model IAI/IRI diaplikasikan untuk memecahkan masalah perluasan akses dan distribusi pendidikan dasar? Sistem belajar berdasarkan audio telah terbukti dapat menjadi sarana yang efektif untuk mencapai jumlah murid yang banyak yang terisolasi oleh jarak dan infrastruktur yang miskin. Hal ini didukung oleh fakta bahwa IAI/IRIdapat diaplikasikan dengan efektif , baik dalam setting formal maupun non-formal oleh guru atau fasilitator orang dewasa lainnya. IAI/IRI adalah metode yang telah terbukti menyediakan pendidikan berkualitas tinggi pada populasi yang sulit dijangkau dan jauh dari sekolah. Studi menunjukkan bahwa tingkat prestasi anak pedesaan yang menggunakan program IAI/IRI hampir sama tingginya dengan prestasi anak-anak diperkotaan. (The World Bank, 2005, No:52)

Di banyak bagian di Indonesia, kelas multigrade menimbulkan tantangan bagi guru. Di Papua, sebagai contoh, sekolah umumnya hanya mempunyai satu guru, meskipun pemerintah sudah berusaha meningkatkan pendapatan dan fasilitas guru sebagai insentif. (The World Bank, 2005, No:52). Meskipun sampai sekarang mayoritas program IAI/IRI hanya didisain untuk memenuhi satu tingkat kelas saja, namun tidak tertutup kemungkinan untuk mengaplikasikan IAI/IRI dalam memfasilitasi pembelajaran multigrade. Di India, sebagai contoh, program IRI yang didanai USAID telah dikembangkan untuk mendukung pembelajaran science dan matematika untuk mengombinasikan kelas lima/enam. Di Costa Rica, sebuah program IRI dikembangkan untuk guru kelas lima-enam.

Sementar ini, Indonesia, dalam menghadapi tantangan yang besar dalam rangka mengembangkan model PAUD yang komprehensif dan mencapai tujuan pendidikan dasar, telah memiliki sumber yang diperlukan untuk menjawab tantangan tersebut secara efektif. Tim DBE 2, Pustekkom dan UT telah mengantisipasi bahwa program percontohan IAI tidak hanya menunjukkan efektivitas IAI sebagai sebuah model untuk menjembatani kesenjangan PAUD di Indonesia, tetapi juga menunjukkan potensi IAI dan IRI untuk membantu Departemen Pendidikan Nasional dalam memenuhi kebutuhan pendidikan dasar.




DAFTAR PUSTAKA

World Bank, (2004) “Early Childhood Education and Development in Indonesia An Investment for a Better Life,” Working Paper Series No. -2.

UNESCO, (2005) “Policy Review Report: Early Childhood Care and Education in Indonesia,” Early Childhood and Family Policy Series, Number 10.

Education Development Center, (2007). “Proof of Concept Study: Testing the Use of Interactive Radio Instruction (IRI) for Entrepreneurship Training with Adults,”.

The World Bank, (2005). “Improving Educational Quality through Interactive Radio Instruction,” Africa Region Human Development Working Papers Series No. 52,.

UPAYA MENINGKATKAN KUALITAS PENDIDIKAN ANAK DI INDONESIA MELALUI PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN ANAK USIA DINI UNIVERSITAS TERBUKA

oleh
Mukti Amini <muktiamini@mail.ut.ac.id>
Sri Tatminingsih <tatmi@mail.ut.ac.id>
FKIP Universitas Terbuka
Makalah Seminar Nasional Universitas Terbuka 2008
Kontribusi Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) dalam Pencapaian Millenium Development Goals (MDGs)
Pondok Cabe, 10 Maaret 2008

Astract
The second declaration point of Millenium Development Goals (MDGs) aims to give everyone opportunity to accomplish basic education. Accordingly, nowadays Indonesia still have some handicaps. One of the handicaps is that the number of Indonesian primary school children who are not able to finish their study on time is still huge, that is 53,2 %. This situation mainly caused by the children failure to move to higher class, so they remain in the same class for one more year and maybe more. If we analyze this situation from the beginning, we can find that one of the problems that caused the children failure is that the children were not ready yet to enter primary school, so that they often left behind in their study. In this school readiness case, their former education that is Kindergarten or early childhood education, influenced them so much. Unfortunately, they rarely found good kindergarten or early childhood education teachers who were able to develop their development aspects so that they were ready to go to primary school. In fact, these kinds of competences can be achieved by kindergarten or playgroup teachers by following a sufficient education. In one hand, Indonesian Government Regulation says that early childhood education teachers must achieved at least Diploma IV or S1 education program in early childhood education or psychology field. On the other hand, only 8,46 % of 149.644 kindergarten or early childhood education teachers that have accomplished S1 education program, but in some irrelevant areas. Meanwhile, only a few teachers education institutions have early childhood education program in S1 level, so that 91,54 % of the kindergarten or early childhood education teachers have to stay in a line for a long time. Hence, Universitas Terbuka as a Distance Learning Agency have a significant role to enhance teachers’ education qualification by opening S1 Early Childhood Education program.

Kata Kunci
Tujuan Pembangunan Milenium, peningkatan kualitas, Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)

Pendahuluan
Salah satu butir dari Millenium Development Goals (MDGs) tentang visi ke depan adalah achieve universal primary education atau mencapai pendidikan dasar untuk semua. Artinya pada tahun 2015 diharapkan setiap anak laki-laki dan perempuan di selutuh dunia, termasuk Indonesia, telah mendapatkan dan menyelesaikan tahap pendidikan dasar. Ketercapaian tujuan tersebut dilihat melalui beberapa indikator yaitu: Angka Partisipasi Murni di sekolah dasar, Angka Partisipasi Murni di sekolah lanjutan pertama, proporsi murid yang berhasil mencapai kelas 5, proporsi murid di kelas 1 yang berhasil menamatkan sekolah dasar, proporsi murid di kelas 1 yang berhasil menyelesaikan sembilan tahun pendidikan dasar dan angka melek huruf usia 15–24 tahun (MDG-ReportIndonesia.rev180604.indd, 2004).

Laporan pencapaian MDGs Indonesia dari Bappenas 2005 menyatakan bahwa berdasarkan data Depdiknas pada tahun 2002 APK (Angka Partisipasi Kasar) SD/MI telah mencapai 112 persen, secara signifikan lebih besar dibanding APM yang baru mencapai 94 persen. Ini menunjukkan, banyak siswa yang berusia di bawah 7 tahun (underage) dan di atas 12 tahun (overage) yang bersekolah di jenjang SD/MI. Menurut data Depdiknas, siswa SD/MI yang berusia kurang dari 7 tahun sebesar 10,28 persen dan siswa yang berusia di atas 12 tahun sebanyak 4,89 persen. Ada kecenderungan peningkatan jumlah anak pada usia di bawah 7 tahun yang sudah masuk SD/MI, terutama di daerah perkotaan. Tetapi, banyak pula anak pada usia di atas 12 tahun yang masih di SD/MI, yang disebabkan oleh dua kemungkinan. Pertama, mereka masuk SD di atas usia 7 tahun. Pada tahun 2000/2001, dari sebanyak 3.433.220 murid baru kelas I SD/MI, sekitar 42,18 persen berusia 8 tahun ke atas. Kedua, banyak anak yang mengulang kelas sehingga mereka baru dapat menyelesaikan SD pada usia di atas 12 tahun.
Sementara itu, proporsi anak-anak yang tidak menyelesaikan pendidikan dasar dalam kurun waktu sembilan tahun masih besar. Ini terjadi pada siklus 1993/1994 sampai dengan siklus 2001/2002, dimana 53,2 % siswa tidak dapat menyelesaikan pendidikan dasar tepat waktu. Hal ini bisa terjadi karena: pertama, adanya siswa yang mengulang kelas sehingga membutuhkan waktu lebih dari sembilan tahun untuk menyelesaikan pendidikan dasar; kedua, adanya siswa putus sekolah, baik di tingkat SD/MI maupun di SLTP/MTs, dan tidak masuk ke dalam lembaga pendidikan alternatif lain; dan ketiga, adanya lulusan SD/MI atau yang setara yang tidak melanjutkan ke SLTP/MTs atau ke lembaga setara yang menawarkan pendidikan luar sekolah. Mereka yang tidak mampu menyelesaikan pendidikan dasar, terutama yang terjadi di tingkat SD/MI merupakan faktor potensial untuk menjadi warga buta huruf (MDG-ReportIndonesia. rev180604.indd, 2004).

Disebutkan bahwa salah satu sebab besarnya proporsi anak-anak yang tidak menyelesaikan pendidikan dasar tepat waktu tersebut adalah karena banyaknya siswa SD yang mengulang. Anak yang mengulang kelas di SD dapat disebabkan oleh berbagai hal, salah satunya adalah tidak adanya kesiapan dari anak tersebut saat masuk SD, sehingga dia selalu tertinggal dalam berbagai materi pelajaran di SD.

Berkaitan dengan kesiapan untuk masuk SD, maka peran pendidikan anak usia dini baik yang formal dan nonformal menjadi sangat penting. Menurut Undang-undang No 20 Tahun 2003, pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar. Pada Undang-undang tersebut juga dijelaskan bahwa pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut (pasal 1 ayat 14). Agar tujuan tersebut tercapai, maka diperlukan tenaga pendidik yang kompeten. PP No 19 tahun 2005 mengatakan bahwa pendidik pada pendidikan anak usia dini seharusnya memiliki kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1); latar belakang pendidikan tinggi di bidang pendidikan anak usia dini, kependidikan lain, atau psikologi; dan memiliki sertifikat profesi guru untuk PAUD. Namun, dari data Pusat Statistik Pendidikan tahun 2005 menyebutkan bahwa guru PAUD/TK di Indonesia yang berjumlah 149.644 orang, hanya (8,46%) atau 12.658 orang yang sudah memiliki kualifikasi akademik S1 dari berbagai bidang ilmu (http://www.jaksel.dikmentidki.go. idnews.php?id=7). Sebanyak 65,49 % masih berkualifikasi setingkat Sekolah Menengah Atas (SMTA), yang terdiri dari + 32,43 % berlatar belakang pendidikan SPG-TK, dan 33,06 % berlatar belakang SLTA non-SPG (Balitbang Diknas, 2005). Data tersebut menunjukkan bahwa dari segi kualitas, sebagain besar guru TK di Indonesia belum memenuhi syarat. Sedangkan dari segi kuantitas, jumlah guru TK sangat kurang, yang mengakibatkan baru 27 % dari 27 juta anak usia dini yang mendapat layanan pendidikan usia dini secara formal.

Sementara itu, adanya LPTK yang mengkhususkan diri dalam menyiapkan pendidik pada lembaga pendidikan anak usia dini masih sangat jarang. Dari data Direktorat Perguruan Tinggi, tercatat baru 2 perguruan tinggi negeri yang menyelenggarakan pendidikan setara Strata Satu (S1), yaitu S1 Pendidikan anak Usia Dini Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dan S1 PGTK di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Untuk menuntaskan 65% dari 149.644 guru PAUD/TK di seluruh Indonesia ke jenjang S1 PAUD tentu membutuhkan waktu yang sangat lama jika hanya mengandalkan 2 Perguruan Tinggi tersebut. Padahal, selain guru TK, juga terdapat guru/pendidik di lembaga pendidikan anak usia dini pada jalur nonformal seperti Kelompok Bermain (KB), Taman Penitipan Anak (TPA), atau lembaga PAUD sejenis yang masih perlu ditingkatkan kualifikasinya.

Oleh karena itu, Universitas Terbuka dengan segala kelebihannya sebagai PTJJ (Perguruan Tinggi jarak Jauh) telah mengambil langkah yang tepat dengan membuka program S1 Pendidikan Anak Usia Dini (S1 PAUD) untuk membantu mengatasi permasalahan tersebut.

Pembahasan
Peran guru sebagai pendidik anak sangat penting. Guru mempunyai pengaruh yang besar. Tidak hanya pada prestasi akademik anak, tapi juga pada sikap dan pandangan anak terhadap sekolah. Guru yang tidak kompeten dapat melumpuhkan bahkan mematikan rasa ingin tahu anak, merusak motivasi, harga diri, dan kreativitas anak (http://stembasurabaya.wordpress.com/2008/01/23/). Apalagi pada pendidikan anak usia dini, dimana anak pada usia tersebut memiliki karakteristik yang khas sehingga idealnya seorang pendidik anak usia dini harus benar-benar profesional di bidangnya. Menurut Jurnal Educational Leadership, 1993 (dalam Supriadi 1998) untuk menjadi profesional, seorang guru dituntut untuk memiliki lima hal yaitu (1) mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya, (2) menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajarnya kepada siswa, (3) bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai cara evaluasi, (4) mampu berpikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari pengalamannya, dan (5) seyogyanya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya.

Namun kenyataan berbicara lain. Seperti telah dijelaskan dalam pendahuluan, pendidik PAUD masih perlu ditingkatkan baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya, khususnya latar belakang pendidikan atau kualifikasi akademisnya. Sebagian besar pendidik PAUD yang masih berlatar belakang SMTA ke bawah perlu segera ditingatkan kulaifikasinya sampai setara D-IV atau S1 sesuai amanat Undang-undang.

Laporan Perkembangan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia dari Bappenas menunjukkan bahwa dalam hal butir pencapaian pendidikan dasar untuk semua, Indonesia masih mengalamai banyak tantangan., yaitu sebagai berikut: (1) tingkat pendidikan penduduk Indonesia relatif masih rendah; (2) dinamika perubahan struktur penduduk belum sepenuhnya dapat diatasi dalam pembangunan pendidikan; (3) masih terdapat kesenjangan tingkat pendidikan yang cukup lebar antarkelompok masyarakat, seperti antara penduduk kaya dan penduduk miskin, antara penduduk laki-laki dan penduduk perempuan, antara penduduk di perkotaan dan penduduk di perdesaan, dan antardaerah; (4) fasilitas pelayanan pendidikan belum tersedia secara merata, terutama di daerah perdesaan, terpencil, dan kepulauan, sehingga menyebabkan sulitnya anak-anak mengakses layanan pendidikan; (5) kualitas pendidikan relatif masih rendah dan belum mampu memenuhi kebutuhan kompetensi peserta didik; dan (6) manajemen pendidikan belum berjalan secara efektif dan efisien, terutama karena desentralisasi pendidikan belum sepenuhnya dapat dilaksanakan dengan baik yang ditandai antara lain oleh belum mantapnya pembagian peran dan tanggung jawab masing-masing tingkat pemerintahan, termasuk kontribusinya dalam penyediaan anggaran pendidikan (Bappenas, 2005). Pada tantangan butir ke-4 disebutkan bahwa fasilitas pelayanan pendidikan belum tersedia merata. Hal ini bukan hanya terjadi pada tingkat pendidikan dasar, tetapi juga pada Pendidikan Tinggi. Pada pendahuluan telah disebutkan bahwa LPTK penyelenggara S1 pendidikan anak masih sangat langka. Oleh karena itu, dalam rangka membantu proses peningkatan kualfifikasi para pendidik anak usia dini tersebut agar dapat lebih cepat maka langkah Univesitas Terbuka membuka Program Studi S1 PAUD merupakan langkah yang sangat strategis.

Sebagai sebuah PTJJ, Universitas Terbuka (UT) memiliki beberapa karakteristik sekaligus kelebihan yang tidak dimiliki perguruan tinggi lainnya, yaitu bahwa UT merupakan PT yang menerapkan sistem pendidikan Jarak Jauh dan Terbuka. Ciri-ciri UT sebagai Pendidikan Jarak Jauh adalah sebagai berikut: (1) terpisahnya pengajar dan peserta didik yang menunjukkan bahwa pengajar UT dan mahasiswanya terpisah oleh jarak dan tidak bertemu tatap muka. Jauhnya jarak tersebut bersifat relatif karena tidak dapat ditentukan dengan kilometer atau mil dan antara pengajar dan mahasiswa tidak berada dalam satu ruangan (kelas) secara bersama; (2) ada pengaruh dari suatu organisasi pendidikan yang berbeda dengan studi pribadi, maksudnya adalah bahwa Pendidikan di UT berbeda dengan pendidikan informal, otodidak atau belajar sendiri karena UT merupakan sebuah organisasi atau lembaga pendidikan yang mengelola pendidikan jarak jauh yang merupakan salah satu syarat PTJJ; (3) menggunakan media teknis: cetak, audio, video atau komputer untuk menyatukan pengajar dan peserta didik dan membawa isi pendidikan, maksudnya dalam sistem pendidikan di UT terjadi proses komunikasi antara pengajar dan mahasiswa dengan menggunakan media baik cetak (modul atau BMP) dan noncetak (kaset, radio, video, televisi, komputer dan internet) sebagai perantara atau saluran dan sekaligus pembawa pesan pendidikan; (4) penyediaan komunikasi dua arah sehingga peserta didik dapat menarik manfaat dan dapat mengambil inisiatif dialog, yang artinya mahasiswa dapat berinisiatif untuk membahas permasalahan yang dihadapinya baik administrasi maupun akademik dengan pengelola pendidikan dimana pengambilan inisiatif dapat dimulai oleh mahasiswa; (5) kemungkinan pertemuan sekali-sekali untuk keperluan pengajaran dan sosialisasi, dalam hal ini adalah adanya penyediaan bantuan belajar seperti tutorial tatap muka maupun on-line sebagai ajang membantu mahasiswa dalam belajar dan memberi kesempatan untuk bersosialisasi dengan tutor, pengelola dan sesama mahasiswa; dan (6) partisipasi dalam bentuk industralisasi pendidikan, artinya adalah bahwa dalam penyelenggaraan pendidikan di UT terdapat proses yang panjang dan sistematik dan kompleks.
Saat ini,Universitas Terbuka memiliki 37 UPBJJ (Unit Pelayanan Belajar Jarak Jauh) yang memudahkan UT dalam menjangkau pelayanan kepada calon mahasiswa di berbagai daerah, termasuk di pedesaan dan daerah terpencil yang tidak terjangkau perguruan tinggi tatap muka.
Selanjutnya, konsep terbuka memiliki arti bahwa UT terbuka bagi siapa saja yang ingin mengikuti program pendidikan itu tanpa batas usia, pekerjaan dan tanpa batas jenis atau tingkat ijazah yang pernah dimiliki sebelumnya (minimal lulusan SLTA), dan mahasiswa memiliki kebebasan untuk memilih mata kuliah atau program yang diminatinya serta terbuka untuk meregistrasi dan keluar dari proses pendidikan tanpa terikat waktu.

Dalam pendidikan tinggi jarak jauh, penggunaan pertemuan tatap muka bukanlah pantangan, bahkan dapat menjadi keharusan ketika pertemuan tatap muka tersebut memang dibutuhkan dalam proses belajar mahasiswanya. Batasnya agar program pendidikan tersebut tidak disebut pendidikan biasa adalah porsi penggunaan belajar mandiri yang harus mendominasi kegiatan belajar mahasiswa secara keseluruhan atau porsi kegiatan belajar mandiri itu lebih besar dari kegiatan belajar tatap muka. Belajar mandiri disini tidak berarti belajar sendiri tetapi belajar mandiri adalah proses belajar yang terjadi atas prakarsa dan inisiatif mahasiswa sendiri. Dengan demikian keberhasilan mahasiswa akan sangat dipengaruhi oleh disiplin, kreativitas dan ketekunan belajarnya. Agar mahasiswa berhasil dalam belajar mandiri, mahasiswa perlu memiliki kemampuan untuk mengelola belajarnya secara efektif dan efisien.
Sebelum diputuskan untuk membuka Program S1 PAUD, dilakukan studi kelayakan untuk melihat seberapa penting prgram S1 PAUD UT diselenggarakan. Berdasarkan studi kelayakan yang dilaksanakan pada 311 responden guru TK/PAUD yang belum menempuh pendidikan S1 di berbagai UPBJJ tahun 2005, ketika ditanyakan tentang perlunya meningkatkan jenjang pendidikan ke S1 PAUD sebagian besar responden yaitu 82% menyatakan sangat setuju dan 11% setuju karena pekerjaan mereka menuntut demikian. Sedangkan yang menyatakan tidak setuju hanya sebesar 1 %. Selain itu, ketika ditanyakan tentang program S1 PAUD-UT memungkinkan mahasiswa untuk belajar tanpa harus meninggalkan tugas pokoknya sebagai guru/pembimbing PAUD, 91% responden meyakini hal tersebut. Hal ini karena responden mengetahui bahwa pada program studi S1 PAUD-UT tidak dituntut kehadiran secara rutin untuk mengikuti kuliah tatap muka, tetapi lebih mengandalkan pada belajar mandiri. Oleh karena itu program ini tidak akan mengganggu jam kerja mereka atau mengurangi kesempatan bagi mereka dalam mencari penghasilan tambahan. Namun demikian, pada ada sebagin kecil responden yang tidak setuju yaitu 6%, dan 3% responden tidak menjawab (Naskah Akademik S1 PAUD-UT, 2007). Berdasar data tersebut secara umum diketahui bahwa Program S1 PAUD-UT sangat membantu peningkatan kualifikasi para guru TK/PAUD d berbagai daerah di Indonesia.

Program Studi S1 PAUD UT merupakan program studi yang bersifat inservice training. Artinya, mahasiswa yang dapat diterima di S1 PAUD UT harus sudah mengajar atau mendidik pada TK/TPA/KB minimal dakam waktu 1 tahun yang dibuktikan dengan surat keterangan mengajar dari ketua yayasan yang diketahui Kepala Dinas Diknas Kecamatan (sekarang: Unit Pelaksana Teknis Daerah/ UPTD) setempat. Sampai dengan semester 2008.1 ini, mahasiswa yang terdaftar di D2 PGTK UT adalah 16.987 orang (data Puskom–UT). Mahasiswa lulusan D2 PGTK-UT tersebut dapat langsung mengikuti alih program ke S1 PAUD–UT. Begitu pula dengan lulusan dari D2 PGTK yang diselenggarakan oleh LPTK yang telah terdaftar di Ditjen Dikti, juga dapat langsung melanjutkan ke Program S1 PAUD-UT. Sampai dengan semester 2008.1 ini, jumlah mahasiswa S1 PAUD-UT yang tersebar di berbagai UPBJJ-UT adalah 191.830 orang. Suatu angka partisipasi yang cukup besar jika dibandingkan angka partisipasi dari perguruan tinggi tatap muka

Besarnya angka partisipasi tersebut bukan berarti progarm S1 PAUD-UT hanya memperhatikan kuantitas dan mengabaikan kualitas. Sebagai program studi yang masih langka di Indonesia, kualitas tetap menjadi perhatian utama. Berbekal Surat ijin dari Dijjen Dikti 2106/D/T/2007 tentang Ijin Penyelenggaraan Program Studi Pendidikan Anak Usia Dini (S1) pada Universitas Terbuka, Program Studi S1 PAUD-UT merancang kurikulum yang diharapkan dapat menghasilkan tenaga pendidik AUD yang kompeten sebagai pendidik PAUD. Kompetensi tersebut terdiri dari: kompetensi utama, yang meliputi: menjelaskan filosofi pendidikan anak usia dini; menganalisis perkembangan anak usia dini; menjelaskan ilmu-ilmu dasar dalam pengembangan PAUD; merencanakan kegiatan pengembangan anak usia dini; menyelenggarakan kegiatan pengembangan anak usia dini; mengevaluasi hasil pengembangan anak usia dini; mengembangkan kurikulum pendidikan anak usia dini; mengelola lembaga pendidikan anak usia dini; memperbaiki kinerja diri sebagai guru PAUD; melaksanakan pembaharuan dalam bidang pendidikan anak usia dini; dan mengembangkan profesionalisme sebagai guru PAUD. Kompetensi pendukung, yang meliputi: memanfaatkan IPTEK sehingga mampu bertindak sebagai pendidik anak usia dini; memiliki kepribadian yang mendukung sebagai pendidik anak usia dini serta menjunjung tinggi kode etik keguruan berdasarkan UU guru dan dosen, dan Kompetensi lain, yaitu mengembangkan diri secara mandiri, sehingga senantiasa dapat mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan secara global. Kompetensi tersebut merupakan inti dari kompetensi guru/pendidik PAUD yang tercantum dalam BNSP (Badan Nasional Standar Pendidikan). Seluruh kompetensi tersebut diharapkan dapat dicapai melalui mata kuliah-mata kuliah yang terdapat dalam program ini secara komprehensif.
Kurikulum program S1 PAUD–UT terdiri dari 45 mata kuliah yang ditawarkan dengan bobot 145 sks, dari jumlah tersebut terdapat 24 mata kuliah disediakan tutorialnya (57%) dengan 10 diantaranya merupakan tutorial yang melibatkan anak secara langsung dalam kegiatan pengembangan di lembaga PAUD. Penentuan mata kuliah yang ditutorialkan didasarkan atas kriteria: (1) mata kuliah tersebut merupakan mata kuliah yang berisi kompetensi utama program (core competency); (2) mata kuliah yang menuntut praktik; (3) mata kuliah yang memiliki tingkat kompleksitas yang tinggi sehingga tanpa bantuan tutorial, mahasiswa diperkirakan akan mengalami kesulitan dalam menguasai kompetensi mata kuliah tersebut. Seluruh mata kuliah tersebut disusun dalam paket semester dan dirancang untuk dapat diselesaikan oleh mahasiswa selama 9 (sembilan) semester.

Agar mahasiswa S1 PAUD-UT dapat belajar mandiri dengan baik, maka selain bantuan tutorial juga disiapkan berbagai bahan ajar. Bahan ajar disampaikan kepada mahasiswa dalam bentuk paket (paket bahan ajar), yang terdiri dari Buku Materi Pokok (BMP) dan bahan pendukung yang terintegrasi maupun yang bersifat suplemen bagi BMP. BMP berupa media cetak, sedangkan bahan pendukung dapat berupa media cetak dan atau noncetak. Untuk mata kuliah yang menuntut mahasiswa menguasai keterampilan khusus, BMP dilengkapi dengan media khusus antara lain video dan jaringan (web-based course). BMP yang dilengkapi dengan media video antara lain adalah Metode Pengembangan Kognitif, Metode Pengembangan Bahasa, Metode Pengembangan Fisik Media dan Sumber Belajar TK, Keterampilan Musik dan Tari, Seni Keterampilan Anak, Pembelajaran Terpadu, dan lain-lain. Untuk mata kuliah yang membutuhkan penjelasan lisan (misalnya mata kuliah Bahasa Inggris), BMP dilengkapi dengan program audio. Dengan demikian mahasiswa dapat belajar atau berinteraksi dengan bidang ilmunya melalui berbagai media. Bahan ajar tersebut dikembangkan secara khusus oleh tim pengembang (course team) yang melibatkan ahli materi, penelaah materi, perancang instruksional, pengembang media, editor bahasa, pengetik dan penata perwajahan. Tim pengembang dikoordinir oleh tenaga dosen UT sebagai pengampu (penanggung jawab) mata kuliah, yang berperan sebagai course manager. Sementara itu, pengembang paket bahan ajar S1 PAUD berasal dari UT, perguruan tinggi lain, Direktorat PAUD Depdiknas, dan praktisi pendidikan anak usia dini. Diharapkan kolaborasi antara akademisi, birokrasi dan praktisi akan menghasilkan bahan ajar yang berkualitas.

Untuk mengukur keberhasilan studi mahasiswa dilakukan evaluasi hasil belajar. Pada program S1 PAUD–UT, terdapat 5 jenis alat evaluasi yang digunakan untuk mengukur keberhasilan mahasiswa, yaitu Nilai tutorial (khusus mata kuliah yang disediakan tutorial), Ujian Akhir Semester (UAS), dan Ujian Pemantapan Kemampuan Mengajar (PKM), Pemantapan Kemampuan Profesional (PKP), dan Tugas Akhir Program (TAP).

Program S1 PAUD–UT memiliki beberapa kelebihan, diantaranya karena sistem pendidikan yang diterapkan adalah jarak jauh, terbuka dan mandiri maka mahasiswa pada program ini dapat menempuh pendidikannya tanpa harus meninggalkan tugasnya sebagai guru atau pendidik di lembaga PAUD. Selain itu, mereka juga dapat melakukan registrasi kapan pun mereka menginginkannya tanpa memedulikan tahun ijazah SLTA atau sederajat yang mereka miliki. Mahasiswa pada program S1 PAUD–UT juga akan dapat semakin memperdalam kemampuannya dalam membelajarkan anak-anak usia dini, karena pada program ini terdapat beberapa mata kuliah yang mengharuskan mahasiswa melakukan kegiatan mengamati, mencatat dan merekam bahkan mempraktikan kegiatan pengembangan di lembaga PAUD serta menganalisisnya sehingga mahasiswa dapat melihat kelemahan dan kelebihan kegiatan pengembangan yang diamatinya untuk selanjutnya mereka dapat memperbaiki atau meningkatkan berdasarkan pengetahuan yang telah mereka dapatkan selama kuliah pada program ini dan pengalaman mereka selama menjadi guru/pendidik PAUD.
Program studi S1 PAUD–UT juga memiliki laboratorium sebagai tempat penelitian dan pengembangan dalam pendidikan anak usia dini. Laboratorium ini juga dapat dimanfaatkan oleh mahasiswanya untuk tempat praktik atau tempat mereka melakukan observasi atau kegiatan akademik lainnya. Tempat tersebut adalah TK Ananda-UT.

Penyelenggaraan program studi S1 PAUD-UT ini juga dapat berjalan dengan baik dan lancar sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang telah ditetapkan karena adanya kerjasama dengan Ikatan Guru Taman Kanak-kanak Indonseia–Persatuan Guru Republik Indonesia (IGTKI-PGRI) dan Himpunan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Anak Usia Dini (HIMPAUDI) serta Dinas Pendidikan di seluruh wilayah Indonesia. Dengan adanya kerjasama ini, maka mahasiswa dapat melakukan praktik, kegiatan tutorial maupun kegiatan akademik lainya seperti observasi atau studi banding di lembaga pendidikan TK/KB dan TPA dimana pun mereka berada.
Berbagai upaya telah dilakukan UT untuk meningkatkan kualitasnya dari tahun ke tahun. Segala upaya tersebut tidak sia-sia karena pada tahun 2008 UT mendapat penghargaan Anugerah Anindyaguna dari Menteri Pendidikan Nasional atas prestasi UT memperoleh “Akreditasi Internasional dan Sertifikat Kualitas” dari ICDE (The International Council for Open and Distance Education” Oslo, Norwegia pada tanggal 12 Agustus 2005. Penganugerahan penghargaan ini disampaikan langsung oleh Mendiknas dalam acara Rembuk Nasional pendidikan di Pusdiklat Depdiknas Sawangan pada tanggal 4 Pebruari 2008 (http://public.ut.ac.id/ index.php?module=announce&ANN _userop=view&ANN_id=135). Selain penghargaan tersebut, UT juga telah berhasil memperoleh sertifikat ISO 9001:2000 dari Badan Sertifikasi SAI Global tahun 2005 pada Pusat layanan Bahan Ajar (Puslaba). Pada bulan September 2007 Sertifikat ISO diperoleh UT dalam dalam 7 bidang yaitu 6 bidang untuk layanan belajar jarak jauh pada 6 UPBJJ–UT (Bogor, Jakarta, Purwokerto, Yogyakarta, Surabaya dan Bandung) dan 1 bidang untuk layanan bahan ajar dan bahan ujian. Kemudian pada bulan November 2007 UT kembali memperoleh sertifikat ISO dalam 5 bidang yaitu layanan belajar jarak jauh pada 5 UPBJJ_UT lainnya (Semarang, Padang, Pontianak dan Malang) (http://id.wikipedia.org /wiki/universitas-terbuka).

Penutup
Deklarasi Millenium Development Goals (MDGs) yang ditandatangai 189 negara termasuk Indonesia pada tahun 2000 memacu semangat semua pihak untuk terus meningkatkan kualitas di segala bidang dalam rangka menuju dunia baru. Demikian pula dengan Universitas Terbuka secara umum dan juga S1 PAUD–UT secara khusus juga berusaha meningkatkan kualitasnya, khususnya dalam bidang pendidikan. Hal ini sesuai dengan butir deklarasi MDGs yang ke-2 yatu mencapai pendidikan dasar untuk semua. Dengan kualitas yang semakin baik maka secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh pada peningkatan sumber daya manusia Indonesia di masa mendatang. Hal ini sangat mungkin karena guru mempunyai pengaruh yang besar terhadap perilaku dan kemampuan anak. Tidak hanya pada prestasi pendidikan anak, tapi juga pada sikap dan pandangan anak terhadap diri sendiri dan lingkungannya. Guru dapat melumpuhkan rasa ingin tahu anak, merusak motivasi, harga diri, dan kreativitas anak Namun guru juga dapat menjadi motivator dan fasilitator yang dapat membangun pemahaman, intelektual dan membentuk perilaku sosial, emosional anak menjadi manusia yang mandiri, bertakwa memiliki keyakinan pada kemampuan dirinya sendiri sehingga anak dapat bersaing dalam lingkungan yang semakin luas dan semakin kompleks serta global. Oleh karenanya untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan upaya melalui pendidikan berkualitas yang harus dimulai dengan guru yang berkualitas. Upaya meningkatkan kualitas pendidikan tanpa memperhitungkan guru secara nyata, hanya akan menghasilkan satu fatamorgana atau sesuatu yang semu dan tipuan belaka. Demikian pula dengan pendidikan anak usia dini (PAUD). Untuk mencapai PAUD yang berkualitas maka guru/pendidik pada PAUD harus memiliki kualitas yang baik. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah melalui peningkatan kualifikasi akademiknya. UT melalui Program S1 PAUD-nya turut berkontribusi meningkatkan kualifikasi guru PAUD sehingga diharapkan guru/pendidik PAUD yang telah menempuh dan menyelesaikan pendidikannya di S1 PAUD-UT memiliki kualifikasi dan kemampuan yang baik untuk menyelenggarakan pembelajaran yang berkualitas di lembaga PAUD dimana dia mengajar.


Daftar Pustaka
Tim Penulis FKI-UT (2007). Naskah Akademik S1 PAUD Universitas Terbuka.Jakarta: Universitas Terbuka
Supriadi, D. (1998). Mengangkat Citra dan Martabat Guru. Jakarta: Depdikbud
Suparman, M. Atwi dan Zuhairi, Aminudin. (2004). Pendidikan Jarak Jauh Teori dan Praktek. Cet.1. Jakarta: Universitas terbuka.
Tim Penulis UT, (2004). 20 Tahun Universitas Terbuka: Dulu, Kini dan Esok. Cet.1 Jakarta: Universitas terbuka.
Undang-undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
http://www.undp.or.id/pubs/imdg2005/BI/MDG_id2005.pdf
http://www.undp.or.id/pubs/imdg2004/BI/IndonesiaMDG_BI_Goal2.pdf
http://stembasurabaya.wordpress.com
http://id.wilkipedia.org/wiki/universitas-terbuka
http://bandono.web.id/2007/12/12/mendidik-guru-berkualitas-untuk-pendidikan-berkualitas/
http://public.ut.ac.id/index.php?module=announce&ANN_userop=view&ANN_id=135http://www.jaksel.dikmentidki.go.idnews.php?id

PAPER Seminar University Kebangsaan Malaysia (UKM)

PROGRAM S1 PG PAUD UNIVERSITAS TERBUKA SEBAGAI SALAH SATU UPAYA IMPLEMENTASI KONVENSI HAK ANAK
Sri Tatminingsih <tatmi@mail.ut.ac.id>
Mukti Amini <muktiamini@mail.ut.ac.id>
Afnidar <afnidar@mail.ut.ac.id >
Universitas Terbuka
Paper/Makalah ini telah diseminarkan dalam
Persidangan Antar Bangsa Pembangunan Malaysia- Indonesia Sempena dan Peluncuran Alumni UKM Cawangan Indonesia
4-5 April 2009, Hotel Park Lane - Jakarta
Abstract

The 28 th Convention on the Rights of Child makes primary education compulsory and available free to all. After all efforts from Indonesian Government to implement the Convention the graduation rate of primary school children is still low (53,2%). One of the reason for this situation is failure to move to higher class, It is assumed that the failure is caused by the children’s un-readiness to enter primary school. Kindergarten or early childhood education could provide support to prepare the children to enter primary school. In doing so early childhood education teachers have to possess certain competencies to able to prepare their student for primary education. Government aware of necessity as reflected in the Government Regulation which says that early childhood education teachers must have at least Diploma IV or S1 education program in early childhood education or psychology field. However, only 8,46 % of 149.644 early childhood education teachers have accomplished S1 education program, with some of them come from irrelevant areas.
Universitas Terbuka (Indonesia Open University), a higher education institution which employs distance education system, could have a significant role to enhance early child hood education teachers’ qualification by offering S1Program in early childhood education.


Key WordsConvention on the Rights of Child, Teacher’s Quality Improvement, Early Childhood Education Program
PENDAHULUAN

Salah satu pasal konvensi hak anak adalah pasal 28 yang mendefinisikan bahwa 1. Pihak Negara mengakui hak anak terhadap pendidikan, dan dengan tujuan untuk mencapai hak ini secara progresif dan berdasarkan kesempatan yang sama, secara khusus mereka akan: a) Mewajibkan pendidikan dasar dan tersedia secara cuma-cuma bagi semua; b) Memacu perkembangan berbagai pendidikan umum, termasuk pendidikan kejuruan dan umum, menyediakan dan memudahkannya bagi setiap anak, dan mengambil langkah-langkah tepat seperti pengenalan pendidikan bebas bea dan menawarkan bantuan keuangan jika dibutuhkan; c) Menyediakan kemudahan untuk pendidikan tinggi bagi semua berdasarkan kapasitas dasar dengan setiap sarana yang tepat; d) Membuat informasi kejuruan dan pendidikan serta bimbingan tersedia dan mudah bagi semua anak; e) Mengambil langkah-langkah untuk memacu kehadiran secara teratur di sekolah dan penurunan angka drop-out. 2. Pihak Negara akan mengambil langkah-langkah tepat untuk menjamin bahwa disipiln sekolah disusun secara konsisten dengan martabat anak

Singkatnya, berdasarkan pasal ini berarti bahwa setiap anak berhak dan harus mendapat pendidikan, khususnya pendidikan dasar. Oleh karenanya merupakan tugas dan kewajiban negara untuk menyediakan pendidikan dasar yang bebas biaya dan bisa diperoleh oleh semua anak dengan mudah. Disamping itu, Pemerintah juga mendorong dengan berbagai cara agar anak-anak mendapat akses dalam menempuh pendidikan SMP dan SMA. Untuk selanjutnya membuka pula kesempatan yang seluas-luasnya dalam pendidikan tinggi bagi setiap anak agar mereka dapat melanjutkan pendidikan hingga ke perguruan tinggi yang pada akhirnya di harapkan setiap manusia Indonesia mendapat hidup yang layak baik secara akademis maupun status social ekonominya.

Implementasi dari konvensi hak anak tersebut di Indonesia dapat dilaksanakan melalui beberapa indikator, diantaranya adalah mencapai pendidikan dasar untuk semua. Artinya pada tahun 2015 diharapkan setiap anak laki-laki dan perempuan di selutuh dunia, termasuk Indonesia, telah mendapatkan dan menyelesaikan tahap pendidikan dasar. Ketercapaian tujuan tersebut dilihat melalui beberapa indikator yaitu: Angka Partisipasi Murni di sekolah dasar, Angka Partisipasi Murni di sekolah lanjutan pertama, proporsi murid yang berhasil mencapai kelas 5, proporsi murid di kelas 1 yang berhasil menamatkan sekolah dasar, proporsi murid di kelas 1 yang berhasil menyelesaikan sembilan tahun pendidikan dasar dan angka melek huruf usia 15–24 tahun (MDG-ReportIndonesia.rev180604.indd, 2004).

Laporan pencapaian Bappenas 2005 menyatakan bahwa berdasarkan data Depdiknas pada tahun 2002 APK (Angka Partisipasi Kasar) SD/MI telah mencapai 112 persen, secara signifikan lebih besar dibanding APM yang baru mencapai 94 persen. Ini menunjukkan, banyak siswa yang berusia di bawah 7 tahun (underage) dan di atas 12 tahun (overage) yang bersekolah di jenjang SD/MI. Menurut data Depdiknas, siswa SD/MI yang berusia kurang dari 7 tahun sebesar 10,28 persen dan siswa yang berusia di atas 12 tahun sebanyak 4,89 persen. Ada kecenderungan peningkatan jumlah anak pada usia di bawah 7 tahun yang sudah masuk SD/MI, terutama di daerah perkotaan. Tetapi, banyak pula anak pada usia di atas 12 tahun yang masih di SD/MI, yang disebabkan oleh dua kemungkinan. Pertama, mereka masuk SD di atas usia 7 tahun. Pada tahun 2000/2001, dari sebanyak 3.433.220 murid baru kelas I SD/MI, sekitar 42,18 persen berusia 8 tahun ke atas. Kedua, banyak anak yang mengulang kelas sehingga mereka baru dapat menyelesaikan SD pada usia di atas 12 tahun.

Sementara itu, proporsi anak-anak yang tidak menyelesaikan pendidikan dasar dalam kurun waktu sembilan tahun masih besar. Ini terjadi pada siklus 1993/1994 sampai dengan siklus 2001/2002, dimana 53,2 % siswa tidak dapat menyelesaikan pendidikan dasar tepat waktu. Hal ini bisa terjadi karena: pertama, adanya siswa yang mengulang kelas sehingga membutuhkan waktu lebih dari sembilan tahun untuk menyelesaikan pendidikan dasar; kedua, adanya siswa putus sekolah, baik di tingkat SD/MI maupun di SLTP/MTs, dan tidak masuk ke dalam lembaga pendidikan alternatif lain; dan ketiga, adanya lulusan SD/MI atau yang setara yang tidak melanjutkan ke SLTP/MTs atau ke lembaga setara yang menawarkan pendidikan luar sekolah. Mereka yang tidak mampu menyelesaikan pendidikan dasar, terutama yang terjadi di tingkat SD/MI merupakan faktor potensial untuk menjadi warga buta huruf (MDG-ReportIndonesia. rev180604.indd, 2004).

Disebutkan bahwa salah satu sebab besarnya proporsi anak-anak yang tidak menyelesaikan pendidikan dasar tepat waktu tersebut adalah karena banyaknya siswa SD yang mengulang. Anak yang mengulang kelas di SD dapat disebabkan oleh berbagai hal, salah satunya adalah tidak adanya kesiapan dari anak tersebut saat masuk SD, sehingga dia selalu tertinggal dalam berbagai materi pelajaran di SD.

Berkaitan dengan kesiapan untuk masuk SD, maka peran pendidikan anak usia dini baik yang formal dan nonformal menjadi sangat penting. Menurut Undang-undang No 20 Tahun 2003, pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar. Pada Undang-undang tersebut juga dijelaskan bahwa pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut (pasal 1 ayat 14). Agar tujuan tersebut tercapai, maka diperlukan tenaga pendidik yang kompeten. PP No 19 tahun 2005 mengatakan bahwa pendidik pada pendidikan anak usia dini seharusnya memiliki kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1); latar belakang pendidikan tinggi di bidang pendidikan anak usia dini, kependidikan lain, atau psikologi; dan memiliki sertifikat profesi guru untuk PAUD. Namun, dari data Pusat Statistik Pendidikan tahun 2005 menyebutkan bahwa guru PAUD/TK di Indonesia yang berjumlah 149.644 orang, hanya (8,46%) atau 12.658 orang yang sudah memiliki kualifikasi akademik S1 dari berbagai bidang ilmu (http://www.jaksel.dikmentidki.go/. idnews.php?id=7). Sebanyak 65,49 % masih berkualifikasi setingkat Sekolah Menengah Atas (SMTA), yang terdiri dari + 32,43 % berlatar belakang pendidikan SPG-TK, dan 33,06 % berlatar belakang SLTA non-SPG (Balitbang Diknas, 2005). Data tersebut menunjukkan bahwa dari segi kualitas, sebagain besar guru TK di Indonesia belum memenuhi syarat. Sedangkan dari segi kuantitas, jumlah guru TK sangat kurang, yang mengakibatkan baru 27 % dari 27 juta anak usia dini yang mendapat layanan pendidikan usia dini secara formal.

Sementara itu, adanya LPTK yang mengkhususkan diri dalam menyiapkan pendidik pada lembaga pendidikan anak usia dini masih sangat jarang. Dari data Direktorat Perguruan Tinggi, tercatat baru 2 perguruan tinggi negeri yang menyelenggarakan pendidikan setara Strata Satu (S1), yaitu S1 Pendidikan anak Usia Dini Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dan S1 PGTK di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Untuk menuntaskan 65% dari 149.644 guru PAUD/TK di seluruh Indonesia ke jenjang S1 PAUD tentu membutuhkan waktu yang sangat lama jika hanya mengandalkan 2 Perguruan Tinggi tersebut. Padahal, selain guru TK, juga terdapat guru/pendidik di lembaga pendidikan anak usia dini pada jalur nonformal seperti Kelompok Bermain (KB), Taman Penitipan Anak (TPA), atau lembaga PAUD sejenis yang masih perlu ditingkatkan kualifikasinya.

Oleh karena itu, Universitas Terbuka dengan segala kelebihannya sebagai PTJJ (Perguruan Tinggi jarak Jauh) telah mengambil langkah yang tepat dengan membuka program S1 Pendidikan Anak Usia Dini (S1 PAUD) untuk membantu mengatasi permasalahan tersebut.

PEMBAHASAN

Peran guru sebagai pendidik anak sangat penting. Guru mempunyai pengaruh yang besar. Tidak hanya pada prestasi akademik anak, tapi juga pada sikap dan pandangan anak terhadap sekolah. Guru yang tidak kompeten dapat melumpuhkan bahkan mematikan rasa ingin tahu anak, merusak motivasi, harga diri, dan kreativitas anak (http://stembasurabaya.wordpress.com/ /2008/01/23/). Apalagi pada pendidikan anak usia dini, dimana anak pada usia tersebut memiliki karakteristik yang khas sehingga idealnya seorang pendidik anak usia dini harus benar-benar profesional di bidangnya. Menurut Jurnal Educational Leadership, 1993 (dalam Supriadi 1998) untuk menjadi profesional, seorang guru dituntut untuk memiliki lima hal yaitu (1) mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya, (2) menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajarnya kepada siswa, (3) bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai cara evaluasi, (4) mampu berpikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari pengalamannya, dan (5) seyogyanya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya.

Namun kenyataan berbicara lain. Seperti telah dijelaskan dalam pendahuluan, pendidik PAUD masih perlu ditingkatkan baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya, khususnya latar belakang pendidikan atau kualifikasi akademisnya. Sebagian besar pendidik PAUD yang masih berlatar belakang SMTA ke bawah perlu segera ditingatkan kulaifikasinya sampai setara D-IV atau S1 sesuai amanat Undang-undang.

Laporan Perkembangan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia dari Bappenas menunjukkan bahwa dalam hal butir pencapaian pendidikan dasar untuk semua, Indonesia masih mengalamai banyak tantangan., yaitu sebagai berikut: (1) tingkat pendidikan penduduk Indonesia relatif masih rendah; (2) dinamika perubahan struktur penduduk belum sepenuhnya dapat diatasi dalam pembangunan pendidikan; (3) masih terdapat kesenjangan tingkat pendidikan yang cukup lebar antarkelompok masyarakat, seperti antara penduduk kaya dan penduduk miskin, antara penduduk laki-laki dan penduduk perempuan, antara penduduk di perkotaan dan penduduk di perdesaan, dan antardaerah; (4) fasilitas pelayanan pendidikan belum tersedia secara merata, terutama di daerah perdesaan, terpencil, dan kepulauan, sehingga menyebabkan sulitnya anak-anak mengakses layanan pendidikan; (5) kualitas pendidikan relatif masih rendah dan belum mampu memenuhi kebutuhan kompetensi peserta didik; dan (6) manajemen pendidikan belum berjalan secara efektif dan efisien, terutama karena desentralisasi pendidikan belum sepenuhnya dapat dilaksanakan dengan baik yang ditandai antara lain oleh belum mantapnya pembagian peran dan tanggung jawab masing-masing tingkat pemerintahan, termasuk kontribusinya dalam penyediaan anggaran pendidikan (Bappenas, 2005). Pada tantangan butir ke-4 disebutkan bahwa fasilitas pelayanan pendidikan belum tersedia merata. Hal ini bukan hanya terjadi pada tingkat pendidikan dasar, tetapi juga pada Pendidikan Tinggi. Pada pendahuluan telah disebutkan bahwa LPTK penyelenggara S1 pendidikan anak masih sangat langka. Oleh karena itu, dalam rangka membantu proses peningkatan kualfifikasi para pendidik anak usia dini tersebut agar dapat lebih cepat maka langkah Univesitas Terbuka membuka Program Studi S1 PAUD merupakan langkah yang sangat strategis.

Sebagai sebuah PTJJ, Universitas Terbuka (UT) memiliki beberapa karakteristik sekaligus kelebihan yang tidak dimiliki perguruan tinggi lainnya, yaitu bahwa UT merupakan PT yang menerapkan sistem pendidikan Jarak Jauh dan Terbuka. Ciri-ciri UT sebagai Pendidikan Jarak Jauh adalah sebagai berikut: (1) terpisahnya pengajar dan peserta didik yang menunjukkan bahwa pengajar UT dan mahasiswanya terpisah oleh jarak dan tidak bertemu tatap muka. Jauhnya jarak tersebut bersifat relatif karena tidak dapat ditentukan dengan kilometer atau mil dan antara pengajar dan mahasiswa tidak berada dalam satu ruangan (kelas) secara bersama; (2) ada pengaruh dari suatu organisasi pendidikan yang berbeda dengan studi pribadi, maksudnya adalah bahwa Pendidikan di UT berbeda dengan pendidikan informal, otodidak atau belajar sendiri karena UT merupakan sebuah organisasi atau lembaga pendidikan yang mengelola pendidikan jarak jauh yang merupakan salah satu syarat PTJJ; (3) menggunakan media teknis: cetak, audio, video atau komputer untuk menyatukan pengajar dan peserta didik dan membawa isi pendidikan, maksudnya dalam sistem pendidikan di UT terjadi proses komunikasi antara pengajar dan mahasiswa dengan menggunakan media baik cetak (modul atau BMP) dan noncetak (kaset, radio, video, televisi, komputer dan internet) sebagai perantara atau saluran dan sekaligus pembawa pesan pendidikan; (4) penyediaan komunikasi dua arah sehingga peserta didik dapat menarik manfaat dan dapat mengambil inisiatif dialog, yang artinya mahasiswa dapat berinisiatif untuk membahas permasalahan yang dihadapinya baik administrasi maupun akademik dengan pengelola pendidikan dimana pengambilan inisiatif dapat dimulai oleh mahasiswa; (5) kemungkinan pertemuan sekali-sekali untuk keperluan pengajaran dan sosialisasi, dalam hal ini adalah adanya penyediaan bantuan belajar seperti tutorial tatap muka maupun on-line sebagai ajang membantu mahasiswa dalam belajar dan memberi kesempatan untuk bersosialisasi dengan tutor, pengelola dan sesama mahasiswa; dan (6) partisipasi dalam bentuk industralisasi pendidikan, artinya adalah bahwa dalam penyelenggaraan pendidikan di UT terdapat proses yang panjang dan sistematik dan kompleks.

Saat ini,Universitas Terbuka memiliki 37 UPBJJ (Unit Pelayanan Belajar Jarak Jauh) yang memudahkan UT dalam menjangkau pelayanan kepada calon mahasiswa di berbagai daerah, termasuk di pedesaan dan daerah terpencil yang tidak terjangkau perguruan tinggi tatap muka.

Selanjutnya, konsep terbuka memiliki arti bahwa UT terbuka bagi siapa saja yang ingin mengikuti program pendidikan itu tanpa batas usia, pekerjaan dan tanpa batas jenis atau tingkat ijazah yang pernah dimiliki sebelumnya (minimal lulusan SLTA), dan mahasiswa memiliki kebebasan untuk memilih mata kuliah atau program yang diminatinya serta terbuka untuk meregistrasi dan keluar dari proses pendidikan tanpa terikat waktu.

Dalam pendidikan tinggi jarak jauh, penggunaan pertemuan tatap muka bukanlah pantangan, bahkan dapat menjadi keharusan ketika pertemuan tatap muka tersebut memang dibutuhkan dalam proses belajar mahasiswanya. Batasnya agar program pendidikan tersebut tidak disebut pendidikan biasa adalah porsi penggunaan belajar mandiri yang harus mendominasi kegiatan belajar mahasiswa secara keseluruhan atau porsi kegiatan belajar mandiri itu lebih besar dari kegiatan belajar tatap muka. Belajar mandiri disini tidak berarti belajar sendiri tetapi belajar mandiri adalah proses belajar yang terjadi atas prakarsa dan inisiatif mahasiswa sendiri. Dengan demikian keberhasilan mahasiswa akan sangat dipengaruhi oleh disiplin, kreativitas dan ketekunan belajarnya. Agar mahasiswa berhasil dalam belajar mandiri, mahasiswa perlu memiliki kemampuan untuk mengelola belajarnya secara efektif dan efisien.

Sebelum diputuskan untuk membuka Program S1 PAUD, dilakukan studi kelayakan untuk melihat seberapa penting prgram S1 PAUD UT diselenggarakan. Berdasarkan studi kelayakan yang dilaksanakan pada 311 responden guru TK/PAUD yang belum menempuh pendidikan S1 di berbagai UPBJJ tahun 2005, ketika ditanyakan tentang perlunya meningkatkan jenjang pendidikan ke S1 PAUD sebagian besar responden yaitu 82% menyatakan sangat setuju dan 11% setuju karena pekerjaan mereka menuntut demikian. Sedangkan yang menyatakan tidak setuju hanya sebesar 1 %. Selain itu, ketika ditanyakan tentang program S1 PAUD-UT memungkinkan mahasiswa untuk belajar tanpa harus meninggalkan tugas pokoknya sebagai guru/pembimbing PAUD, 91% responden meyakini hal tersebut. Hal ini karena responden mengetahui bahwa pada program studi S1 PAUD-UT tidak dituntut kehadiran secara rutin untuk mengikuti kuliah tatap muka, tetapi lebih mengandalkan pada belajar mandiri. Oleh karena itu program ini tidak akan mengganggu jam kerja mereka atau mengurangi kesempatan bagi mereka dalam mencari penghasilan tambahan. Namun demikian, pada ada sebagin kecil responden yang tidak setuju yaitu 6%, dan 3% responden tidak menjawab (Naskah Akademik S1 PAUD-UT, 2007). Berdasar data tersebut secara umum diketahui bahwa Program S1 PAUD-UT sangat membantu peningkatan kualifikasi para guru TK/PAUD d berbagai daerah di Indonesia.

Program Studi S1 PAUD UT merupakan program studi yang bersifat inservice training. Artinya, mahasiswa yang dapat diterima di S1 PAUD UT harus sudah mengajar atau mendidik pada TK/TPA/KB minimal dakam waktu 1 tahun yang dibuktikan dengan surat keterangan mengajar dari ketua yayasan yang diketahui Kepala Dinas Diknas Kecamatan (sekarang: Unit Pelaksana Teknis Daerah/ UPTD) setempat. Sampai dengan semester 2008.1 ini, mahasiswa yang terdaftar di D2 PGTK UT adalah 16.987 orang (data Puskom–UT). Mahasiswa lulusan D2 PGTK-UT tersebut dapat langsung mengikuti alih program ke S1 PAUD–UT. Begitu pula dengan lulusan dari D2 PGTK yang diselenggarakan oleh LPTK yang telah terdaftar di Ditjen Dikti, juga dapat langsung melanjutkan ke Program S1 PAUD-UT. Sampai dengan semester 2008.1 ini, jumlah mahasiswa S1 PAUD-UT yang tersebar di berbagai UPBJJ-UT adalah 191.830 orang. Suatu angka partisipasi yang cukup besar jika dibandingkan angka partisipasi dari perguruan tinggi tatap muka
Besarnya angka partisipasi tersebut bukan berarti progarm S1 PAUD-UT hanya memperhatikan kuantitas dan mengabaikan kualitas. Sebagai program studi yang masih langka di Indonesia, kualitas tetap menjadi perhatian utama. Berbekal Surat ijin dari Dijjen Dikti 2106/D/T/2007 tentang Ijin Penyelenggaraan Program Studi Pendidikan Anak Usia Dini (S1) pada Universitas Terbuka, Program Studi S1 PAUD-UT merancang kurikulum yang diharapkan dapat menghasilkan tenaga pendidik AUD yang kompeten sebagai pendidik PAUD. Kompetensi tersebut terdiri dari: kompetensi utama, yang meliputi: menjelaskan filosofi pendidikan anak usia dini; menganalisis perkembangan anak usia dini; menjelaskan ilmu-ilmu dasar dalam pengembangan PAUD; merencanakan kegiatan pengembangan anak usia dini; menyelenggarakan kegiatan pengembangan anak usia dini; mengevaluasi hasil pengembangan anak usia dini; mengembangkan kurikulum pendidikan anak usia dini; mengelola lembaga pendidikan anak usia dini; memperbaiki kinerja diri sebagai guru PAUD; melaksanakan pembaharuan dalam bidang pendidikan anak usia dini; dan mengembangkan profesionalisme sebagai guru PAUD. Kompetensi pendukung, yang meliputi: memanfaatkan IPTEK sehingga mampu bertindak sebagai pendidik anak usia dini; memiliki kepribadian yang mendukung sebagai pendidik anak usia dini serta menjunjung tinggi kode etik keguruan berdasarkan UU guru dan dosen, dan Kompetensi lain, yaitu mengembangkan diri secara mandiri, sehingga senantiasa dapat mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan secara global. Kompetensi tersebut merupakan inti dari kompetensi guru/pendidik PAUD yang tercantum dalam BNSP (Badan Nasional Standar Pendidikan). Seluruh kompetensi tersebut diharapkan dapat dicapai melalui mata kuliah-mata kuliah yang terdapat dalam program ini secara komprehensif.

Kurikulum program S1 PAUD–UT terdiri dari 45 mata kuliah yang ditawarkan dengan bobot 145 sks, dari jumlah tersebut terdapat 24 mata kuliah disediakan tutorialnya (57%) dengan 10 diantaranya merupakan tutorial yang melibatkan anak secara langsung dalam kegiatan pengembangan di lembaga PAUD. Penentuan mata kuliah yang ditutorialkan didasarkan atas kriteria: (1) mata kuliah tersebut merupakan mata kuliah yang berisi kompetensi utama program (core competency); (2) mata kuliah yang menuntut praktik; (3) mata kuliah yang memiliki tingkat kompleksitas yang tinggi sehingga tanpa bantuan tutorial, mahasiswa diperkirakan akan mengalami kesulitan dalam menguasai kompetensi mata kuliah tersebut. Seluruh mata kuliah tersebut disusun dalam paket semester dan dirancang untuk dapat diselesaikan oleh mahasiswa selama 9 (sembilan) semester.

Agar mahasiswa S1 PAUD-UT dapat belajar mandiri dengan baik, maka selain bantuan tutorial juga disiapkan berbagai bahan ajar. Bahan ajar disampaikan kepada mahasiswa dalam bentuk paket (paket bahan ajar), yang terdiri dari Buku Materi Pokok (BMP) dan bahan pendukung yang terintegrasi maupun yang bersifat suplemen bagi BMP. BMP berupa media cetak, sedangkan bahan pendukung dapat berupa media cetak dan atau noncetak. Untuk mata kuliah yang menuntut mahasiswa menguasai keterampilan khusus, BMP dilengkapi dengan media khusus antara lain video dan jaringan (web-based course). BMP yang dilengkapi dengan media video antara lain adalah Metode Pengembangan Kognitif, Metode Pengembangan Bahasa, Metode Pengembangan Fisik Media dan Sumber Belajar TK, Keterampilan Musik dan Tari, Seni Keterampilan Anak, Pembelajaran Terpadu, dan lain-lain. Untuk mata kuliah yang membutuhkan penjelasan lisan (misalnya mata kuliah Bahasa Inggris), BMP dilengkapi dengan program audio. Dengan demikian mahasiswa dapat belajar atau berinteraksi dengan bidang ilmunya melalui berbagai media. Bahan ajar tersebut dikembangkan secara khusus oleh tim pengembang (course team) yang melibatkan ahli materi, penelaah materi, perancang instruksional, pengembang media, editor bahasa, pengetik dan penata perwajahan. Tim pengembang dikoordinir oleh tenaga dosen UT sebagai pengampu (penanggung jawab) mata kuliah, yang berperan sebagai course manager. Sementara itu, pengembang paket bahan ajar S1 PAUD berasal dari UT, perguruan tinggi lain, Direktorat PAUD Depdiknas, dan praktisi pendidikan anak usia dini. Diharapkan kolaborasi antara akademisi, birokrasi dan praktisi akan menghasilkan bahan ajar yang berkualitas.

Untuk mengukur keberhasilan studi mahasiswa dilakukan evaluasi hasil belajar. Pada program S1 PAUD–UT, terdapat 5 jenis alat evaluasi yang digunakan untuk mengukur keberhasilan mahasiswa, yaitu Nilai tutorial (khusus mata kuliah yang disediakan tutorial), Ujian Akhir Semester (UAS), dan Ujian Pemantapan Kemampuan Mengajar (PKM), Pemantapan Kemampuan Profesional (PKP), dan Tugas Akhir Program (TAP).

Program S1 PAUD–UT memiliki beberapa kelebihan, diantaranya karena sistem pendidikan yang diterapkan adalah jarak jauh, terbuka dan mandiri maka mahasiswa pada program ini dapat menempuh pendidikannya tanpa harus meninggalkan tugasnya sebagai guru atau pendidik di lembaga PAUD. Selain itu, mereka juga dapat melakukan registrasi kapan pun mereka menginginkannya tanpa memedulikan tahun ijazah SLTA atau sederajat yang mereka miliki. Mahasiswa pada program S1 PAUD–UT juga akan dapat semakin memperdalam kemampuannya dalam membelajarkan anak-anak usia dini, karena pada program ini terdapat beberapa mata kuliah yang mengharuskan mahasiswa melakukan kegiatan mengamati, mencatat dan merekam bahkan mempraktikan kegiatan pengembangan di lembaga PAUD serta menganalisisnya sehingga mahasiswa dapat melihat kelemahan dan kelebihan kegiatan pengembangan yang diamatinya untuk selanjutnya mereka dapat memperbaiki atau meningkatkan berdasarkan pengetahuan yang telah mereka dapatkan selama kuliah pada program ini dan pengalaman mereka selama menjadi guru/pendidik PAUD.

Program studi S1 PAUD–UT juga memiliki laboratorium sebagai tempat penelitian dan pengembangan dalam pendidikan anak usia dini. Laboratorium ini juga dapat dimanfaatkan oleh mahasiswanya untuk tempat praktik atau tempat mereka melakukan observasi atau kegiatan akademik lainnya. Tempat tersebut adalah TK Ananda-UT.

Penyelenggaraan program studi S1 PAUD-UT ini juga dapat berjalan dengan baik dan lancar sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang telah ditetapkan karena adanya kerjasama dengan Ikatan Guru Taman Kanak-kanak Indonseia–Persatuan Guru Republik Indonesia (IGTKI-PGRI) dan Himpunan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Anak Usia Dini (HIMPAUDI) serta Dinas Pendidikan di seluruh wilayah Indonesia. Dengan adanya kerjasama ini, maka mahasiswa dapat melakukan praktik, kegiatan tutorial maupun kegiatan akademik lainya seperti observasi atau studi banding di lembaga pendidikan TK/KB dan TPA dimana pun mereka berada.

Berbagai upaya telah dilakukan UT untuk meningkatkan kualitasnya dari tahun ke tahun. Segala upaya tersebut tidak sia-sia karena pada tahun 2008 UT mendapat penghargaan Anugerah Anindyaguna dari Menteri Pendidikan Nasional atas prestasi UT memperoleh “Akreditasi Internasional dan Sertifikat Kualitas” dari ICDE (The International Council for Open and Distance Education” Oslo, Norwegia pada tanggal 12 Agustus 2005. Penganugerahan penghargaan ini disampaikan langsung oleh Mendiknas dalam acara Rembuk Nasional pendidikan di Pusdiklat Depdiknas Sawangan pada tanggal 4 Pebruari 2008 (http://public.ut.ac.id/%20index.php?module=announce&ANN%20_userop=view&ANN_id=135). Selain penghargaan tersebut, UT juga telah berhasil memperoleh sertifikat ISO 9001:2000 dari Badan Sertifikasi SAI Global tahun 2005 pada Pusat layanan Bahan Ajar (Puslaba). Pada bulan September 2007 Sertifikat ISO diperoleh UT dalam dalam 7 bidang yaitu 6 bidang untuk layanan belajar jarak jauh pada 6 UPBJJ–UT (Bogor, Jakarta, Purwokerto, Yogyakarta, Surabaya dan Bandung) dan 1 bidang untuk layanan bahan ajar dan bahan ujian. Kemudian pada bulan November 2007 UT kembali memperoleh sertifikat ISO dalam 5 bidang yaitu layanan belajar jarak jauh pada 5 UPBJJ_UT lainnya (Semarang, Padang, Pontianak dan Malang) (http://id.wikipedia.org /wiki/universitas-terbuka).

PENUTUP

Salah satu isi dari konvensi hak anak adalah pasal 28 (menjadikan pendidikan dasar sebagai sesuatu yang wajib dan bebas biaya untuk semua anak) adalah tentang pendidikan untuk semua termasuk pendidikan dasar dan pendidikan anak usia dini. Pasal ini memacu semangat semua pihak untuk terus meningkatkan kualitas di segala bidang dalam rangka menuju dunia baru. Demikian pula dengan Universitas Terbuka secara umum dan juga S1 PAUD–UT secara khusus juga berusaha meningkatkan kualitasnya, khususnya dalam bidang pendidikan. Hal ini sesuai dengan butir deklarasi MDGs yang ke-2 yatu mencapai pendidikan dasar untuk semua. Dengan kualitas yang semakin baik maka secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh pada peningkatan sumber daya manusia Indonesia di masa mendatang. Hal ini sangat mungkin karena guru mempunyai pengaruh yang besar terhadap perilaku dan kemampuan anak. Tidak hanya pada prestasi pendidikan anak, tapi juga pada sikap dan pandangan anak terhadap diri sendiri dan lingkungannya. Guru dapat melumpuhkan rasa ingin tahu anak, merusak motivasi, harga diri, dan kreativitas anak Namun guru juga dapat menjadi motivator dan fasilitator yang dapat membangun pemahaman, intelektual dan membentuk perilaku sosial, emosional anak menjadi manusia yang mandiri, bertakwa memiliki keyakinan pada kemampuan dirinya sendiri sehingga anak dapat bersaing dalam lingkungan yang semakin luas dan semakin kompleks serta global. Oleh karenanya untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan upaya melalui pendidikan berkualitas yang harus dimulai dengan guru yang berkualitas. Upaya meningkatkan kualitas pendidikan tanpa memperhitungkan guru secara nyata, hanya akan menghasilkan satu fatamorgana atau sesuatu yang semu dan tipuan belaka. Demikian pula dengan pendidikan anak usia dini (PAUD). Untuk mencapai PAUD yang berkualitas maka guru/pendidik pada PAUD harus memiliki kualitas yang baik. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah melalui peningkatan kualifikasi akademiknya. UT melalui Program S1 PAUD-nya turut berkontribusi meningkatkan kualifikasi guru PAUD sehingga diharapkan guru/pendidik PAUD yang telah menempuh dan menyelesaikan pendidikannya di S1 PAUD-UT memiliki kualifikasi dan kemampuan yang baik untuk menyelenggarakan pembelajaran yang berkualitas di lembaga PAUD dimana dia mengajar.


Daftar Pustaka
Supriadi, D. (1998). Mengangkat Citra dan Martabat Guru. Jakarta: Depdikbud
Suparman, M. Atwi dan Zuhairi, Aminudin. (2004). Pendidikan Jarak Jauh Teori dan Praktek. Cet.1. Jakarta: Universitas terbuka.
Tim Penulis FKI-UT,(2004). 20 Tahun Universitas Terbuka: Dulu, Kini dan Esok. Cet.1 Jakarta: Universitas terbuka.
Tim Penulis FKI-UT (2007). Naskah Akademik S1 PAUD Universitas Terbuka.Jakarta: Universitas Terbuka
Undang-undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
http://www.undp.or.id/pubs/imdg2005/BI/MDG_id2005.pdf
http://www.undp.or.id/pubs/imdg2004/BI/IndonesiaMDG_BI_Goal2.pdf
http://stembasurabaya.wordpress.com/
http://id.wilkipedia.org/wiki/universitas-terbuka
http://bandono.web.id/2007/12/12/mendidik-guru-berkualitas-untuk-pendidikan-berkualitas/
http://public.ut.ac.id/index.php?module=announce&ANN_userop=view&ANN_id=135
http://www.jaksel.dikmentidki.go.idnews.php?id=7
Tim Penulis FKI-UT (2007). Naskah Akademik S1 PAUD Universitas Terbuka.Jakarta: Universitas Terbuka

MEMBISIKKAN PESAN PERMAINAN SEDERHANA BERGUNA LUAR BIASA

(Modifikasi Permainan Tradisional Sebagai Sarana Pengembangan Kemampuan Anak)
Artikel ini telah dimuat pada :JENDELA (Jurnal Pendidikan dan Psikologi Indonesia)
Edisi 02, Mei 2009 MEDIA & ANAK-ANAK

PENDAHULUAN
Dunia anak adalah dunia bermain dan seringkali dikatakan bahwa bermain adalah “pekerjaan anak-anak”. Bermain memang merupakan alat belajar yang penting, karena bemain bagi anak tak ubahnya dengan belajar. Kedua hal ini yaitu belajar dan bermain sulit dibedakan karena anak belajar mengenal diri dan lingkungannya melalui bermain dengan alat maupun tanpa alat permainan. Selain itu, melalui bermain anak mampu membangun dunianya sendiri dengan imajinasinya dan mampu memahami kehidupan nyata melalui pengalaman yang diperolehnya ketika bermain.
Bermain merupakan salah satu sarana untuk tumbuh kembang dalam lingkungan budaya dan persiapan anak untuk belajar norma-norma dalam masyarakat.
Bermain juga merupakan kegiatan yang dilakukan secara berulang -ulang, biasanya dilakukan tanpa tujuan atau sasaran tertentu yang harus dicapai. Bermain dilakukan hanya untuk kesenangan saja. Jadi kegiatan apapun yang dilakukan anak demi untuk mendapat kesenangan dapat dikatakan sebagai bermain, baik dengan alat maupun tanpa alat. Alat yang digunakan untuk bermain disebut mainan. Selama ini kita sering menganggap bahwa yang dsebut mainan hanyalah boneka, mobil-mobilan, rumah-rumahan. Padahal yang bisa digolongkan sebagai mainan begitu luas. ” Segala benda yang dipakai untuk bermain dan menimbulkan rasa senang dalam diri anak, bisa disebut sebagai mainan “. Jadi apapun macamnya ( meja, kursi, panci, daun - daunan, kaleng, alat tulis, tanah, pasir, air, pelepah dan kayu ) dapat disebut sebagai mainan.
Pada saat ini, dimana teknologi canggih sudah merambah hampir seluruh wilayah tanah air seperti televisi, komputer dan internet mulai masuk ke rumah-rumah ditambah lagi dengan semakin menyempitnya lahan untuk arena bermain anak, maka kegiatan bermain anak– anakpun semakin berkurang. Anak lebih suka duduk diam di depan televisi untuk menonton ataupun bermain game atau permainan di dalam rumah lainnya yang bersifat individu. Hal ini banyak terjadi di daerah perkotaan. Sekarang ini jarang sekali kita melihat anak–anak di daerah perkotaan yang bermain–main bersama dengan teman–temannya, berlari–lari ataupun bersenang–senang berkelompok. Mereka umumnya sudah terlalu sibuk dengan kegiatannya masing–masing seperti sekolah, kursus piano, musik, les bahasa Inggris, les matematika, tennis, berenang ataupun kegiatan lainnya yang membuat anak tidak sempat menikmati indahnya dunia anak–anak melalui bermain dengan teman sebayanya.
Indonesia sebagai negara yang terdiri dari ribuan pulau, budaya dan berbagai suku bangsa yang berbeda antara satu dengan lainnya memiliki banyak sekali permainan tradisional atau permainan rakyat. Kekayaan ini dimungkinkan karena setiap daerah biasanya memiliki ciri dan bentuk permainannya sendiri yang berbeda dengan daerah lainnya. Walaupun mungkin saja ada beberapa permainan tradisional suatu daerah mempunyai kemiripan dengan permainan daerah yang lainnya. Misalnya Sonda (Betawi) dengan Engklek (Jawa Tengah), Ultop (Sumatra Utara) dan Dor Pletok (Jawa Tengah).
Permainan tradisional/rakyat merupakan salah satu kekayaan budaya bangsa Indonesia, maka tugas kitalah untuk melestarikannya. Mengingat saat ini berbagai macam permainan tradisional tampaknya banyak yang mulai tergusur dengan hadirnya permainan– permainan impor yang lebih modern serta semakin menyempitnya lahan untuk bermain ditambah lagi dengan enggannya orangtua jika melihat anaknya bermain dengan sesuatu yang kotor dan tampak ‘jorok’
Pada artikel ini, penulis mencoba menyajikan sebuah permainan tradisional yang dimodifikasi sedemikian rupa sehingga menghasilkan manfaat yang lebih banyak bagi anak-anak yang memainkannya, yaitu Permainan Membisikkan Pesan. Permainan ini sering dimainkan oleh anak–anak dari berbagai tingkatan usia dan tidak membutuhkan peralatan ataupun arena permainan yang luas. .Oleh karena itu, selain untuk melestarikannya, Hasil modifikasi permainan ini juga dapat digunakan untuk kegiatan pembelajaran di sekolah (Taman Kanak–kanak maupun Sekolah Dasar) yang dapat membantu anak mengembangkan aspek–aspek perkembangannya secara menyeluruh dan terpadu secara optimal.
Sebelum membahas tentang permainan tersebut, mari kita tinjau sejenak beberapa teori tentang bermain.
Menurut Rebecca Isbell (Isbell,1995), “Play is children’s work and children want to play. In play, children develop problem solving skills by trying different ways of doing things and determining the best approach. In play children use language to carryout their activities, expanding and refining their language as they talk with and listen to the other children. When playing, they learn about other people as they try out different roles and adjust to working together. Play nurtures children’s development in all areas: Intellectual, social/emotional and physical “
Bermain bagi anak adalah apa yang mereka lakukan sepanjang hari, bermain adalah kehidupan dan kehidupan adalah bermain. Anak–anak tidak membedakan antara bermain, belajar, dan bekerja. Anak-anak adalah pemain alami, mereka menikmati bermain dan dapat berkonsentrasi dalam waktu yang lama untuk sebuah keterampilan. Bermain merupakan motivasi intrinsik bagi anak dan tidak ada seorangpun yang dapat mengatakan apa yang dilakukan dan bagaimana melakukannya. Dalam bermain anak mengembangkan mentalnya dan menumbuhkan kemampuannya untuk memecahkan masalah dalam hidupnya (perkembangan sosial) dan mengembangkan motoriknya. Tidak ada satu definisi yang dapat menjelaskan arti bermain yang sebenarnya (Mayesky, 1990).
Permainan anak-anak merupakan wadah dasar dan indikator perkembangan mental. Bermain memungkinkan anak-anak untuk memajukan perkembangannya seperti sensorimotor, intelegensi pada bayi , mulai dari operasional sampai operasional konkrit pada anak pra sekolah juga mengembangkan kognitif, fisik, dan perkembangan sosial emosional (Maxim , 1992).
Menurut beberapa tokoh lainnya , arti bermain adalah: aktivitas bermain adalah kegiatan spontan yang tidak memiliki tujuan duniawi yang riil; menurut Plato, Aristoteles dan Frobel bermain merupakan kegiatan yang mempunyai nilai praktis. Artinya bermain digunakan sebagai media untuk meningkatkan keterampilan dan kemampuan tertentu pada anak; dan Hurlock menganggap bahwa bermain adalah setiap kegiatan yang dilakukan untuk kesenangan yang ditimbulkan tanpa mempertimbangkan hasil akhir.
Bermain bagi anak, selain merupakan alat belajar juga merupakan kebutuhan bagi setiap anak. Manfaat bermain bagi anak adalah:
1. anak mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan diri, baik perkembangan fisik (melatih keterampilan motorik kasar dan motorik halus), perkembangan psiko sosial (melatih pemenuhan kebutuhan emosi), serta perkembangan kognitif (melatih kecerdasan)
2. bermain merupakan sarana bagi anak untuk bersosialisasi;
3. bermain bagi anak-anak adalah untuk melepaskan diri dari ketegangan;
4. bermain merupakan dasar bagi pertumbuhan mentalnya;
5. melalui bermain anak-anak dapat mengeluarkan energi yang ada dalam dirinya ke dalam aktivitas yang menyenangkan;
6. melalui bermain anak-anak dapat mengembangkan imajinasinya seluas mungkin. Mereka bisa menjadi raja/ratu, dapat menjadi hewan, menerbangkan pesawat ataupun membangun gedung yang megah:
7. melalui bermain anak-anak dapat berpetualang menjelajah lingkungan dan menemukan hal-hal baru dalam kehidupannya;
8. melalui bermain anak dapat belajar bekerja sama, mengerti peraturan, saling berbagi dan belajar menolong diri sendiri dan orang lain serta menghargai waktu;
9. bermain juga merupakan sarana mengembangkan kreativitas anak;
10. bermain dapat mengembangkan keterampilan olah raga dan menari;
11. Melatih konsentrasi atau pemusatan perhatian pada tugas tertentu.
Aspek–aspek perkembangan anak akan dapat berkembang atau dilatih ketika anak melakukan suatu permainan. Setiap permainan memiliki cara dan keistimewaan sendiri yang berbeda–beda dalam mengembangkan kemampuan setiap anak. Namun secara umum aspek yang dikembangkan ketika anak bermain atau melakukan suatu permainan adalah sebagai berikut. 1) Emosional, Anak dapat mengekspresikan perasaannya ketika bermain, menyalurkan rasa ingin tahu, kebanggaan, kesenangan, kesedihan, kemauan, berpusat pada diri sendiri, antusias dan penyesuaian diri dengan lingkungannya. 2) Intelektual (kognitif), dapat berupa kesiapan anak, kemampuan untuk menggambarkan hubungan antara lingkungan, kesadaran pada perubahan lingkungan, kepekaan intelektual merupakan kemampuan berpikir dengan cara-cara yang rasional untuk memutuskan secara efektif, pemecahan masalah dan mempelajari jenis-jenis benda. 3) Fisik-motorik, merupakan kemampuan untuk mengkoordinasikan visual dan gerakan dengan cara mengontrol tubuh. Aspek perkembangan fisik meliputi motorik kasar (gerakan anggota tubuh seperti kaki, tangan dan kepala serta badan) dan motorik halus (kemampuan jari–jari tangan seperti menulis, menggambar, mewarnai dan lain–lain). Perubahan perkembangan fisik mudah diamati. 4) Sosial, merupakan kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungannya, berkomunikasi dengan teman sebaya dan orang dewasa, memahami berbagai aturan dalam masyarakat, bekerjasama, menjadi bagian dari kelompok, tolong–menolong, mau berbagi, memahami perasaan dan kemampuan berhubungan dengan orang lain. 5) Bahasa, yang didefinisikan sebagai arti pengorganisasian berpikir, perasaan dan pemahaman kedalam ekspresi untuk mengkomunikasikan pikiran dan perasaannya kepada orang lain. 6) Seni, merupakan kemampuan untuk menciptakan sesuatu dari bahan-bahan yang ada yang dapat berguna, peningkatan kesadaran dan penggunaan pengalaman perseptual yang bervariasi dengan inti pada pengamatan visual dan penggunaan indra pada kegiatan bermain.. Bentuk-bentuk kreativitas dapat dihasilkan dari kebebasan mengeksplor, kebebasan emosi dan mencoba berbagai hal ketika anak bermain.

Sekilas tentang Permainan Membisikkan Pesan
Permainan Membisikan Pesan merupakan permainan tanpa alat, sehingga bisa dimainkan kapan saja. Permainan ini merupakan permainan yang bersifat kompetitif antara dua kelompok anak dengan masing-masing kelompok terdiri dari 3–10 anak terdiri dari anak laki-laki maupun perempuan, sehingga menimbulkan kebanggaan bagi kelompok yang memperoleh kemengangan lebih banyak. Biasanya kelompok yang kalah akan menantang kembali untuk bermain keesokan harinya.
Cara memainkan permainan ini adalah peserta bisa dibagi dalam dua kelompok. Tiap kelompok duduk dalam suatu barisan dari depan ke belakang. Pemimpin akan membisikkan sebuah kata/kalimat singkat ke telinga anak pertama, tanpa mengulanginya. Anak pertama tersebut meneruskan pesan tersebut pada orang kedua di belakangnya tanpa mengulangi kata/kalimat tersebut. Anak kedua meneruskan pada anak ketiga dan seterusnya. Pemimpin akan mengecek kembali kata/kalimat tersebut pada anak yang terakhir, apakah sesuai dengan pesan aslinya. Orang terakhir dari kelompok yang dapat menyebutkan pesan sesuai dengan aslinya keluar sebagai pemenang.
Aspek yang dikembangkan dalam permainan ini adalah: Bahasa (melatih indra pendengaran yaitu dengan berusaha mendengar suara yang sangat pelan (bisikan) dan memahami pesan yang harus disampaikan; Sosial (melatih kebersamaan, kekompakan, kerja sama, dan merasakan dirinya menjadi bagian dari kelompoknya serta mempunyai peran dalam kelompoknya dan sportivitas); Emosional (melatih anak untuk mengungkapkan perasaan, meluapkan kegembiraan jika menang, menahan diri untuk tidak membisiki pesan dengan keras, memotivasi teman serta tidak mudah menyerah).


Selengkapnya baca di: http://www.psppa.org/search/label/Jurnal