Rabu, 28 Januari 2009

PENGENDALIAN EMOSI PADA ANAK USIA DINI

Kisah ini merupakan pengalamanku sebagai guru. Strategi yang aku terapkan mungkin hanya berupa kasus dan belum tentu cocok bila digeneralisir pada anak-anak lain di usia yang sama atau pada permasalahan yang sama. Namun tidak menutup kemungkinan, cara (strategi?) ini bisa berhasil diterapkan pada anak-anak tertentu yang mengalami masalah yang sama. Nama-nama pada kisah ini sebagian adalah nyata dan sebagian disamarkan untuk menjaga hal-hal yang tidak diharapkan. Namun kejadian adalah nyata.



“Bu guru…. Diah nangis tuh!” Andin berteriak sambil menunjuk ke Diah yang sedang menangis sesenggukan.

“Kenapa?” aku bertanya sambil berlari menghampiri Andin yang duduk di meja paling belakang.
Aku merasa bersalah karena sebagai guru aku tidak tahu kejadian di salah satu sudut kelasku.

“Kenapa sayang”

“Malik yang pukul dia Bu…” Doni menunjuk pada Malik yang tampak berdiri mematung di samping bangkunya.

Tiba-tiba, Malik berlari ke arah Doni dan langsung memukul Doni dengan kepalannya. Doni menjerit dan berlari ke arahku sambil memegangi pipinya. Aku memeluknya dan mengusap-usap pipinya yang tampak merah.

Setelah kedua anak ini reda tangisnya, aku berdiri dan mendekati Malik yang duduk di bangkunya sambil bertopang dagu dengan wajah cemberut.

Malik adalah anak yang cerdas. Kemampuan logika matematikanya sangat bagus untuk anak seusianya. Demikian juga dengan kemampuan berbahasanya. Bahasa ekspresif maupun represifnya sangat baik. Saat berbicara, Malik menggunakan Bahasa Indonesia yang sesuai dengan EYD (ejaan yang disempurnakan). Tutur katanya selalu tertata dengan sangat baik. Dia juga anak yang sangat sopan dan sering berempati pada teman. Namun ada satu hal yang membuatnya kurang disukai teman-teman sekelasnya di kelompok B ini. Malik sangat mudah marah. Dia juga ringan tangan dalam arti mudah sekali memukul atau menyakiti teman-temannya. Dia cepat sekali meledak. Hanya tersenggol sedikit saja dia akan langsung melayangkan tinjunya. HAnya karena masalah yang sangat sepele dia bisa marah. Dia tak peduli siapapun yang membuatnya kesal pasti akan mendapat balasan tinju atau tamparan darinya. Satu hal lagi, Malik juga senang menggigit. Semua hal itu akan dilakukannya apabila dia merasa ada yang mengganggunya. Hampir setiap hari ada saja anak yang menangis karena ulahnya. Ternyata hal ini tidak hanya terjadi pada anak-anak di kelasku saja. Anak-anak di kelas yang lain juga sudah banyak yang menjadi korbannya.

Sebagai ibu gurunya aku lumayan bingung mengatasi perilaku Malik ini. Banyak hal yang sudah akau lakukan agar perilaku buruk ini berkurang. Hal-hal yang kulakukan misalnya memarahinya, merayunya, mendiamkannya, meminta anak yang disakiti membalasnya bahkan aku pernah menghukumnya dengan tidak mengijinkannya bermain saat istirahat. Aku juga mencari informasi pada keluarga dan tetangganya. Aku minta bantuan pada orang-orang di rumahnya. Aku meminta bantuan dari guru-guru dan staf di sekolah. Namun semua upaya tersebut belum membuahkan hasil.

“Hmmm… apa lagi yang aku harus lakukan?”

“Bagaimana mengatasi perilaku Malik ini?”

“Uuuhhh…. ????!!!!!” Aku hampir putus asa.




“Selamat pagi Bu guru…. “

“Selamat pagi, Malik…”

“Wah…. Ibu guru hari ini tampak cantik sekali…”

“Terima kasih Malik… hari ini kamu juga tampak gagah dan hebat”

“Ibu guru, dapat salam dari ayah saya….”

“Oh… ya, terima kasih yaa….. nanti Ibu guru akan telepon ayahmu dan mengucapkan terima kasih untuk salamnya…”

“Iya… Bu, Ayah Malik pasti senang sekali menerima telepon dari Bu guru…”

Ya… itu percakapanku dengan Malik tadi pagi. Dia tampak sangat santun dan tidak menunjukkan bahwa dia termasuk salah satu “trouble maker” yang ditakuti teman-temannya.





Saat ini anak-anak sedang memcap dengan daun. Semua anak tampak sangat serius dan tampak gembira. Tiba-tiba…

“Wah Malik kok gambar daunnya ngga nyata?” Andi bertanya pada Malik

Aku menoleh ke arah Malik dan Andi, dan…

“Malik!... tolong turunkan tanganmu!” perintahku dengan kata-kata yang tegas. “Kamu tidak boleh memukul sembarang orang….”

“Tapi dia sudah menghina gambar saya Bu…” Wajah MAlik tampak merah menahan amarah.

“Iya… tapi kamu tidak bisa menyakiti orang hanya karena dia mengatakan sesuatu yang tidak menyenangkan hati kamu…”

“Aku kesal sekali Bu guru…. Aku ingin marah…” Malik mengepalkan tangannya dan memukulkan nya ke mejanya.

“Begini…. Kamu ingin marah kan?” Aku berdiri di sampingnya sambil mendekap tanganku sendiri. Malik hanya menggeletukkan gigi dan bibirnya tampak maju beberapa senti.

“ Ibu guru punya cara, bagaimana kalau kamu mau marah…” Kataku tanpa berusaha merayunya.
“Ikut Ibu guru….” Aku berjalan lebih dulu di depannya ke arah mejaku. Aku melirik, ternyata Malik mengikuti aku ke depan kelas tetap sambil bersungut-sungut.

“Anak-anak yang lain tetap bekerja yaa….”

“Nah… Malik… di sini ada tembok. Jika kamu mau marah…. Kamu bisa dorong tembok ini!”

“Wah… tidak bisa begitu bu guru….” Malik mulai protes.

“Mengapa tidak?” tanyaku

“Jika aku marah, aku ingin menonjok orang!, aku ingin memukul, aku ingin mncubit, aku ingin menggigit…. Jadi aku bisa puas” Malik bicara panjang lebar sambil mulutnya berbelok-belok menahan marah.

“ Iya… bu guru paham. Nah… kamu boleh memukul, mencubit, menendang, menggigit, menonjok ataupun melakukan hal lain pada teman yang telah membuatmu marah…. Boleh… kamu boleh melakukannya…”

“Lalu mengapa aku harus mendorong tembok ini?”

“Yaa…. Sebelum kamu melakukan hal-hal tadi, kamu harus dorong dulu tembok ini. Jika kamu berhasil menggeser tembok ini, baru kamu boleh pukul siapapun yang telah membuat kamu marah…Bahkan kamu boleh melakukan itu semua pada ibu guru”

“Benar Bu? Nanti aku boleh melampiaskan marah aku?”

“Benar! Setelah kamu berhasil mendorong tembok ini”

Malik langsung memasang posisi. Dia mendorong tembok itu sekuat tenaganya.
“Mmmmmggghhhrrrrr…..” Suaranya terdengar sangat marah.


Beberapa menit kemudian, dia tampak tersengal-sengal.


“Bu… aku capek… boleh kah aku berhennti dulu?’ tanyanya dengan napas ngos-ngosan.

“Boleh… tapi kamu belum boleh menyakiti temanmu…”

Malik pun duduk dibangkunya. Tangannya diletakkan dipahanya. Dia tampak mengatur napasnya. Matanya dipejamkan. Pundaknya turun naik. Aku tersenyum memperhatikannya dari kejauhan. Aku berpura-pura tidak memperhatikannya.

Tak berapa lama kemudian, Malik kembali medorong tembok di samping meja guru. Dia melakukannya sekuat tenaga. Namun karena tembok itu sangat kuat maka tak sesentipun tembok itu bergeser. Hingga akhirnya dia menyerah.

“Bu… aku mau mencap saja…”

“Boleh… kamu teruskan pekerjaanmu… ingat ya… setiap kali kamu ingin marah…. Dorong tembok itu! Kalau berhasil bergeser… kamu boleh pukul atau gigit siapapun…”

Sejak hari itu. Setiap kali dia ingin marah…. Dimanapun dia berada. Baik di halaman, di kelas, di perpustakaan, di ruang media…Dia selalu berlari ke dalam kelas dan mencoba mendorong tembok tersebut. Kadang sampai berkeringat dan wajahnya merap padam saat mendorong tembok itu.




Sekarang, tidak ada lagi anak yang menangis karena disakiti oleh Malik. Tidak ada lagi orang tua murid yang protes dan minta Malik di keluarkan. Malik benar-benar menjadi anak yang baik. Bahkan orang tuanya sengaja datang ke sekolah dan menanyakan apa yang bisa merubah anaknya menjadi sabar dan bisa Menahan gejolak emosinya. Saat saya ceritakan strategi yang saya terapkan, kedua orang tua Malik geleng-geleng kepala sambil tertawa terbahak-bahak.

“Ah… bu guru… aneh-aneh saja strateginya… ‘

Kamis, 15 Januari 2009

KREATIVITAS ANAK PENURUT

Semua orangtua, pasti menginginkan mempunyai anak yang sopan dan patuh pada peraturan, baik peraturan di rumah maupun di sekolah dan di masyarakat. Orangtua mengharapkan anak mereka mempunyai disiplin yang tinggi, tertib dan teratur serta peduli pada lingkungan sekitarnya. Orangtua akan berkata dengan senang dan bangga, “ Anak saya anak yang baik, “ anteng “, tidak pernah rewel dan menurut apapun yang saya katakan” dan tidak sedikit orangtua yang mengeluh bila anak mereka tidak bisa diam, suka membongkar mainannya, rumah jadi kotor dan berantakan, dan tidak menuruti kemauan orangtuanya.

Hal itu setidaknya menunjukan bahwa orangtua lebih senang jika anak mereka adalah anak yang tenang, diam, menuruti aturan, tidak melakukan hal-hal yang merusak atau mengotori segala sesuatu yang ada. Dan untuk mendapatkan anak yang demikian orangtua menerapkan berbagai macam aturan dan larangan di rumah dan tidak jarang disampaikan dengan kata “ jangan… “ atau berupa larangan seperti “ tidak boleh… “ dan “ Kamu harus … “. Orangtua akan merasa sangat bangga jika berhasil menjadikan anak mereka sebagai anak yang “ penurut “, tidak pernah membantah, melawan ataupun menentang. Anak menjadi diam dan tenang seperti “robot “ yang akan bergerak jika diperintah.

Namun apakah hal ini baik untuk anak ?, Kadang kala hal-hal yang baik bagi orangtua belum tentu baik pula bagi anak atau sesuai pula untuk anak. Apakah aturan-aturan dan larangan-larangan yang diterapkan orangtua akan mendukung dan mendorong perkembangan kreativitas anak ? Atau bahkan akan menghambat kreativitas anak ? karena kreativitas akan berkembang dengan baik jika dilandasi kebebasan dalam berekspresi dan kebebasan untuk menyalurkan aspirasinya. Apakah anak yang penurut kemudian tidak memiliki kreativitas atau kreativitasnya tidak berkembang ? Oleh karena itu dalam artikel ini penulis mencoba membahas tentang kreativitas anak penurut. Karena kedua hal tersebut yaitu kreativitas dan penurut tampaknya merupakan dua hal yang bertolak belakang. Apakah kreativitas yang dimiliki anak penurut dapat berkembang dengan baik ? dan apakah anak penurut masih memiliki kreativitas ?



Contoh Kasus
Tiara ( 12 tahun ) adalah seorang anak yang dibesarkan di lingkungan polisi, ayah, kakek dan salah satu pamannya adalah anggota polisi dan ibunya seorang guru. Mereka tinggal di kompleks polisi. Tiara dididik oleh ayahnya dengan disiplin yang tinggi, makan, tidur, main harus teratur. Tiara tumbuh menjadi anak yang pendiam, patuh dan sangat menurut pada orangtuanya terutama ayahnya. Ketika usia Taman Kanak-kanak, gurunya mengatakan bahwa Tiara adalah anak yang sangat baik, tidak pernah mengganggu temannya, selalu duduk dengan manis, tidak suka berlari-lari dan jika mengerjakan tugas pasti hasilnya akan hampir sama persis dengan contoh yang diberikan oleh gurunya dan dia selalu mendapat nilai yang bagus. Namun untuk kegiatan menggambar bebas Tiara tidak menghasilkan apa-apa. dia selalu mengatakan “ tidak bisa “ karena tidak ada contohnya. Demikian pula jika bermain bebas, maka Tiara hanya akan duduk diam menyaksikan teman-temannya bermain. Ibu gurunya mengatakan bahwa Tiara tidak kreatif . Hal ini berlangsung terus hingga Tiara duduk di bangku Sekolah Dasar.
Ketika duduk di SD kelas IV, Ibunya menemukan beberapa tulisan tangan Tiara pada beberapa buku pelajarannya di halaman terakhir. Tulisan itu berupa puisi maupun cerita sehari-hari yang dialami oleh Tiara sendiri. Kemudian tulisan ini dikumpulkan dan dijadikan buku kecil. Salah satu tulisan itu dikirimkan ke majalah dan ternyata dimuat. Kebanyakan puisinya berisi kekagumannya pada ibunya dan keluh kesah serta keinginannya untuk bebas seperti alam.
Saat ini Tiara sudah di SMP, tulisan-tulisannya sering dimuat di madding (majalah dinding ) sekolah. Tiara tetap merupakan anak pendiam yang cenderung pasif namun dia terus menulis. Namun dia tidak mau jika harus tampil sendiri di depan orang banyak, makanya dia tidak mau jika tulisannya diikut sertakan dalam lomba.

Kisah Tiara ini menunjukan bahwa anak yang penurut , patuh dan taat pada peraturan juga tetap memiliki kreativitas dan kreativitasnya dapat berkembang dengan baik jika lingkungan memberi dukungan dan dorongan untuk berkembangnya kreativitas. Dan disiplin tetap diperlukan dalam mengembangkan kreativitas agar kebebasan yang diperlukan untuk berkreasi memiliki batasan – batasan sehingga produk kreatif yang dihasilkan tidak merugikan orang lain dan dapat berguna bagi orang lain.

Pengertian Kreativitas
Pengertian kreativitas menurut Mayesky adalah cara berpikir dan bertindak atau membuat sesuatu yang asli dari dirinya dan mempunyai nilai bagi dirinya atau orang lain.Banyak yang beranggapan bahwa orang yang kreatif adalah orang yang dapat menghasilkan suatu produk benda padahal selain itu kreativitas dapat juga sebagai suatu proses pemikiran atau gagasan yang berguna bagi dirinya sendiri maupun orang lain.

Anak kecil mempunyai kreativitas yang alami dan spontan sikap mereka dalam berbagai hal mengerjakan sesuatu yang tidak dibuat-buat. Anak akan menjadi kreatif ketika mereka harus memecahkan masalah, atau saat mereka perlu menyesuaikan diri dalam lingkungan yang baru.

Sedangkan menurut Conny Semiawan, Munandar dan SC. U Munandar, pengertian kreativitas sebagai kemampuan untuk mencipta suatu produk baru. Ciptaan itu tidak perlu seluruh produknya harus baru, mungkin saja gabungan atau kombinasinya, sedang unsur-unsurnya sudah ada sebelumnya.Pada saat ini kita sering melihat orang menciptakan sesuatu kerajinan yang terbuat dari barang-barang bekas menjadi benda yang cantik dan unik.

Pengertian kreativitas menurut Salim yaitu, sesuatu yang dapat disebut kreatif bila ia memenuhi beberapa kriteria produk kreatif sebagai berikut : baru, berbeda dari yang telah ada dalam arti lebih baik dan berguna bagi orang banyak. Sesuatu itu tidak selalu berupa benda, melainkan dapat pula berupa sistem, prosedur atau cara untuk melakukan sesuatu.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kreativitas merupakan suatu kemampuan yang dimiliki seseorang untuk berpikir maupun menciptakan sesuatu karya baru. Karya tersebut dapat baru secara keseluruhan maupun dengan adanya pembaharuan pada sesuatu yang telah ada tercipta hal yang baru.

Disiplin
Disiplin secara luas dapat diartikan sebagai semacam pengaruh yang dirancang untuk membantu anak agar mampu menghadapi tuntutan dari lingkungannya. Disiplin tumbuh dari kebutuhan untuk menjaga keseimbangan antara kecenderungan atau keinginan individu untuk berbuat sesuatu yang dapat dai ingin ia peroleh dari orang lain, dengan pembatasan peraturan yang diperlukan terhadap dirinya oleh lingkungannya.

Seorang anak membutuhkan perasaan aman untuk tumbuh kembang dengan caranya sendiri. Rasa aman ini didapatnya mulai dari lingkungan rumah sampai ke sekolah dan masyarakat. Namun untuk mendapatkan rasa aman yang dia inginkan bukan berarti bahwa kebebasannya tidak terbatas. Pada hakekatnya seorang anak da setiap orang membutuhkan disiplin.

Setiap orangtua maupun guru tentu ingin mempunyai anak atau murid yang sopan, santun dan memiliki tata krama dalam pergaulan seperti : ramah, manis budi, supel, baik hati, mengerti baik dan buruk, benar dan salah dan mentaati peraturan dan tatatertib yang ada di lingkungannya.

Kendati tak seorangpun tahu cara mendidik anak agar menghormati hukum dan orang lain yang terbaik, yang jelas kita harus mengajarkan prosesnya sejak dini. Cara yang efektif adalah dengan membiasakan anak melakukan hal yang benar (Hal yang boleh dilakukan ) dan tidak melakukan hal yang salah (hal yang tidak boleh dilakukan ) dan menghadapkannya pada konsekuensi dari tindakannya. Konsekuensi ini tidak harus berupa hukuman agar anak jera namun contoh sikap dan perilaku orangtua akan lebih efektif dalam menanamkan disiplin. Misalnya : mengajak anak merapikan kembali mainannya setelah selesai bermain dan untuk anak usia dini, orangtua harus rajin mengingatkan dan memberi contoh apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan.

Para ahli ilmu perkembangan anak mengingatkan, kata disiplin berasal dari bahasa latin yang artinya belajar dan merupakan suatu konsep yang positif. Disiplin meliputi campuran dari penalaran, ketegasan dan kesayangan. Ada bebarapa cara menanamkan disiplin pada anak – anak (dirangkum dari berbagai artikel ), diantaranya adalah sebagai berikut.

  1. Mulai secara perlahan sesuai dengan tingkatan usia anak.
  2. Membantu anak agar mau bekerja sama dalam mentaati peraturan dengan cara .mengusahakan lingkungan yang aman.
  3. Orangtua harus konsisten dengan aturan yang telah dibuat bersama anak.
  4. Mulai dengan aturan yang sederhana da mudah dimengerti anak.
  5. Komunikasikan aturan-aturan yang diterapkan pada anak secara jelas dan tidak perlu dengan suara keras.
  6. Memberi contoh perilaku yang boleh dan yang tidak boleh secara jelas.
  7. Tidak mencela atau mencemooh dan mempermalukan anak di depan umum.
  8. Menanamkan sikap peduli dan empati pada orang lain .

Referensi
Marry Mayesky, Creative Activities for Young Children, (New York : Delmar Publisher, 1990 )

Conny Semiawan, A.S. Munandar, SC.U. Munandar, Memupuk Bakat dan Kreativitas Siswa Sekolah Menengah, Petunjuk bagi Guru dan Orangtua, ( Jakarta : Gramedia, 1987 )

Evita Singgih Salim, Kreativitas dan Sikap Kreatif dari Siswa Berbakat Akademik, Makalah yang disampaikan dalam Simposium Program Akselerasi dalam Pendidikan bagi Siswa Berbakat Akademik, Jakarta 29-30 Maret 2000.


Sri T Purnomo