Selasa, 17 Februari 2009

Mahasiswa Super

Musim begini, HP dan telepon kantor pasti akan sangat sering berdering dan bergetar. Yaa.... Saat-saat seperti ini akan sangat banyak mahasiswa yang menanyakan nilai. Apakah mereka lulus untuk semua mata kuliah yang diambil semester ini? atau apakah nilai pada mata kuliah yang ku ampu ini dapat nilai baik? Atau bisakan nilai mereka di dongkrak? Dan banyak lagi pertanyaan yang kadang bikin pusing kepala. Belum lagi pertanyaan yang diajukan lewat alamat email atau tiba-tiba fax masuk menanyakan nilai.

Padahal kalau mahasiswa itu agak sedikit cerdas (hehehe.... mungkin kurang panjang saja pikirannya!), mereka bisa lihat nilai mereka di internet di website universitas atau mereka bisa sms ke nomor tertentu hingga ga perlu repot-repot mengirim pertanyaan tersebut ke Jakarta atau bahkan mereka bisa tanayakan ke pengelola atau Unit di daerahnya. Namun kadangkala... Unit di daerah juga langsung melemparkan masalah yang ditanyakan ke Jakarta. Selain itu.... pengelola atau mahasiswa di daerah juga masih banyak yang tidak mau membaca panduan atau katalog sehingga mereka tidak tahu bahwa semua itu bisa ditanyakan pada siapa (perwakilan di daerah atau via email) tidak harus langsung ke Pusat.

Seperti siang ini, ada fax dari mahasiswa di dari suatu daerah. Mereka satu pokjar menanyakan kapan nilai mereka keluar dan apakah mereka bisa terjaring yudisium periode ini? Tidak tanggung2 faks yang dikirim berupa TBS (tanda bukti setoran) yang jumlahnya tidak sedikit. semua berkas itu jatuh di mejaku. Ups....

Aku bawa berkas yang seabreg itu ke TU, lalu dengan sandi salah satu staf TU aku membuka program nilai (Program ini cuma orang tertentu yang bisa membukanya, makanya aku pinjam passwords mereka). Aku cek satu persatu nilai mahasiswa yang berkasnya ada di tanganku ini. Aku cek mulai dari memasukan NIM, lalu ke peragaan nilai....lalu lihat IPK....lalu nilai permata kuliah.... trus kapan proses nilai terakhir.... trus daftar yudisium.... jika semua beres... maka nama tersebut berarti bisa ikut wisuda periode sekarang. Jika ada salah satu hal yang belum terpenuhi maka aku harus cari tahu mengapa dan bagaimana solusi yang harus dilakukan oleh mahasiswa tersebut. Hmmm.... kira-kira 2 jam baru selesai semua berkas tersebut aku proses. Selanjutnya aku harus menghubungi atau menelepon salah satu perwakilan dari mahsiswa tersebut atau pengelolanya langsung di daerah. Aku sampaikan hasil pencarianku tadi. Siapa saja yang terjaring yudisium, siapa saja yang harus memperbaiki nilai, siapa saja yang harus mengulang, siapa saja dan apa saja yang harus dilakukan oleh mahasiswa agar mereka bisa ikut wisuda.

Hehehe... di mejaku masih banyak lagi berkas dan pertanyaan yang harus dijawab dan itu berlangsung setiap hari.... (bahkan saat tidak musim nilai kayak sekarang). Kadang ada saja mahasiswa (cuma satu orang) yang telepon. Itupun tetap harus kami layani dengan baik dan harus kami bantu hingga masalahnya bisa selesai dengan baik. Walaupun kadang ada mahasiswa yang belum pernah menghubungi kami (baik di daerah maupun di Pusat) lalu mengatakan bahwa pengurusan sesuatu atau masalah di universitas ku ini susah dan bertele-tele serta tidak akan ditanggapi. Aneh kan? padahal mereka belum pernah coba....

Kadang, aku merasa bahwa mahasiswa itu aneh. Ada yang bertanya, Bu... kok nilai saya E yaa? padahal "rasanya" saya bisa lho mengerjakan UASnya. Atau... Bu... kenapa nilai saya tidak keluar? padahal saya aktif lho saat tutorial? Bu... saya merasa tidak menyontek tapi kok nilai saya E (hukuman), padahal saya justru yang dicontek... gimana Bu? Bu... tolong donk naikin nilai saya supaya IPK saya bisa menjasi 2,s5... supaya saya bisa yudisium....? Seharusnya pertanyaan itu tidak perlu terlontar dari mulut mereka. KArena mereka harusnya sudah tahu... kuliah di sini tuh konsekuensinya seperti apa.

Di Institusiku, ujian akhir memang bersifat massal dan soalnya berupa pilihan berganda yang di lakukan serentak di seluruh Indonesia (bahkan di beberapa KBRI). Ujian ini tidak bisa diulang (tidak ada ujian ulang) jika tidak ikut yaa... berarti tidak lulus dan harus mengulang pada semester berikutnya. Memang (mungkin) pada saat pelaksanaan ujian, pengawasan yang dilakukan tidak atau kurang ketat sehingga memungkinkan mahasiswa saling bekerja sama (menyontek) namun karena sistem pengoreksian nilai adalah komputerisasi yang sudah di set sedemikian rupa maka mahasiswa yang menyontek (atau dicontek) akan mendapatkan nilai E (hukuman) dan itu tidak ada yang bisa amembantu (tidak juga dosen atau bahkan pejabat di institusi ini) solusinya adalah mengulang kembali mata kuliah ini pada semester berikutnya.

Yah... kadang aku kasihan pada mahasiswaku. Mereka bukan fresh graduate, mereka nyambi kerja, mereka ibu rumah tangga, mereka harus cari biaya sendiri untuk kuliahnya dan mereka juga sudah termasuk orang-orang yang "kadaluarsa" alias sudah lama tidak pegang buku... jadi untuk membaca ... wah... itu hal yang paling berat yang harus mereka lakukan. Makanya sebagai dosen (tutor) kadang aku agak memaksa mereka seperti anak kecil agar mereka mau membaca. Kadang pengalaman mengajarku waktu di TK aku terapkan juga pada mahasiswaku yang kebanyakan adalah guru TK juga.... yaah.. demi membantu mereka agar bisa mengerjakan soal UAS dengan lancar. Itupun .... ada saja mahasiswa yang nilainya jeblok dan tidak bisa dibantu sama sekali meskipun sudah ikut tutorial. Kalau sudah begini... apa boleh buat?

Hmm.... Namun sejujurnya aku salut pada seluruh mahasiswaku.... mereka adalah orang-orang yang super yang menjalankan peran yang berbeda dalam satu waktu... sebagai mahasiswa, sebagai guru, sebagai ibu, sebagai anggota IGTK, sebagai dan sebagai.... Adalah perjuangan berat yang mereka butuhkan, yang mereka lakukan agar bisa berhasil dalam pendidikannya. Aku salut!


Just for kindergarten teacher in Indonesia around
Semangat dan terus maju...
Bangsa ini di masa datang
tergantung pada usaha kalian semua
salam....

Senin, 09 Februari 2009

“SMURF” STRATEGI UNTUK MENANGANI ANAK YANG SUKA BICARA "JELEK"

“Dasar! Bu guru jelek!”
“Bego Luh!”
“Sialan… Brengsek… Anjing Luh…”
Ucapan-ucapan tersebut seringkali kudengar dari mulut seorang muridku yang berwajah imut.

Danu (sebut saja begitu namanya) adalah anak yang lucu. Usianya baru 4 tahun. Wajahnya imut dengan pipi gembul seperti Bakpau. Pipinya selalu bersemu merah seperti udang yang baru diangkat dari rebusan. Sebenarnya dia adalah anak yang menyenangkan dan menggemaskan. Tubuhnya yang gempal dan bullet membuatnya disenangi semua guru dan staf di sekolah. Namun ada satu hal pada dirinya yang kurang disukai. Danu seringkali berkata kasar dan kotor. Saat dia marah atau kecewa maka nama-nama binatang di kebun binatangpun bermuncratan dari mulutnya. Bahkan dia tak peduli siapa lawan bicaranya, kata-kata itu tetap saja akan segera keluar dari terowongan di mulutnya seperti air bah yang tak bisa dibendung.

Aku sebagai gurunya, sering kali terperangah dan terjengah jika mendengar kata-kata dan kalimat “aneh” atau bahkan “beracun” itu keluar dari mulutnya. Bukan hanya kepada teman-temannya Danu melontarkan “racun” tersebut. Iapun kerap memuncratkan kata-kata tersebut kepada mamanya bahkan kepadaku sebagai gurunya atau bahkan kepada orang tua lain yang kebetulan menyinggung perasaannya.

Aku mencoba mencari tahu mengapa Danu sering kali bersikap dan berkata-kata kasar seperti itu. Aku bertanya pada mamanya yang selalu mengantarnya ke sekolah. Informasi yang kudapat adalah bahwa Danu suka sekali menonton film kartun di televisi. Film yang disukai adalah Shincan dan Ranger. Danu juga suka sekali bermain dengan teman-temannya di luar kompleks perumahan. Hampir setiap sore dia bermain bersama anak-anak “kampung” (mamanya menyebut demikian untuk anak-anak yang tinggal di luar di kompleks tersebut). Menurutnya teman main Danu tersebut hampir semua adalah anak-anak yang berusia di atas Danu dan sudah duduk di bangku SD maupun SMP. Danu juga dekat sekali dengan pembantunya yang lumayan cerewet dan cenderung banyak bicara. Mama Danu mengatakan, bahwa dirinya serta papanya Danu sering menegur Danu bahkan tidak jarang memarahi atau bahkan memukul mulut Danu saat anak tersebut mengeluarkan kata-kata yang kurang baik tersebut. Namun hal itu belum berhasil merubahnya bahkan perkataan Danu semakin hari semakin kasar dan kotor. Kata-kata (mungkin lebih pantas jika disebut umpatan) yang paling sering diucapkan adalah (Maaf…!) “Anjing!, Babi!, Monyet!, Bangsat!, Sialan!, pelacur!, Jelek!, Tai!, Tai Kucing!, Mampus!” (Woooow banyak banget yaaa?).

Setelah mendapatkan data-data tersebut, aku kemudian berembug dengan guru yang membantuku di kelas. Oh… ya, di kelas (ruangan kelas) ini aku mengajar berdua untuk 2 kelompok. Aku wali kelas kelompok B2 dan Ibu Uti, wali kelas kelompok B1. Kami masuk pagi dan siang secara bergantian. Pergantian waktu ini dilakukan sebulan sekali. Saat kelompok B2 belajar maka Ibu Uti bertindak sebagai guru bantu demikian pula sebaliknya.

Kembali… ke Lap top…..

Aku dan Bu Uti mencoba menelaah dan menganailis data yang sudah kami peroleh dari mama Danu. Selain itu kami juga mencari informasi pada pihak-pihak lain seperti pembantu yang sering menemani Danu di rumah, anak-anak yang sering bermain bersama Danu dan aku juga mencoba menonton film (kesukaan Danu) Shincan dan Ranger yang ditayangkan di salah satu stasiun televisi.

Hasil yang kami peroleh adalah bahwa semua hal tersebut sangat mendukung dan menyuport Danu untuk berkata-kata kasar. Teman-temannya di sekitar rumah memang sering mengeluarkan umpatan dengan kata-kata kasar dan kotor saat bermain. Meskipun mereka melakukannya sambil bercanda dan tertawa-tawa. Tokoh Shincan juga tak jarang mengucapkan kata-kata yang kurang baik dan kurang enak di dengar dan tokoh yang digemari anak-anak ini sering menunjukkan sikap melawan atau berbuat tidak sopan pada orang tuanya (terutama ibunya). Demikian pula dengan film Ranger yang sering mengeluarkan ungkapan yang tidak layak didengar anak-anak (padahal film ini kan untuk konsumsi anak-anak ya?). Sedangkan pembantu yang dekat dengan Danu sering kali “latah” dan mengelurkan kata-kata yang sama jorok dan kasarnya dengan anak-anak “kampung” yang tinggal di sekitar kompleks tersebut. Data yang tak kalah mengejutkan adalah bahwa ternyata ayah Danu, saat marah juga akan sangat meledak-ledak dan juga akan mengeluarkan kata-kata umpatan yang “WOW!”

Semalaman aku ngubek-ngubek buku-buku, teori dan berbagai diktat serta makalah hasil seminar yang aku miliki. Setelah berkutat dengan buku-buku, diktat dan kertas-kertas tersebut dan setelah aku berpikir dan merenung cukup lama. Aku pindah ke kamar anakku. Aku coba-coba mencari inspirasi dari buku-buku milik anakku yang sekarang sudah mulai ABG (Anak Baru Gede). Tiba-tiba, aku menemukan buku cerita anak (komik) diantara tumpukan buku-buku usang. Hmmm... komik ini paling kusuka saat aku masih anak-anak (bahkan sampai aku remaja dan masih sampai sekarang). Aku juga ingat, anak-anakku suka banget dengan komik ini. Yaa… buku itu adalah komik SMURF. Dalam komik itu, para smurf mengganti kata-kata tertentu dengan kata "smurf" dan kita para pembacanya harus berpikir untuk menerjemahkannya. Kita harus mengartikan kalimat yang diucapkan dan nge pas-pas in sendiri, sesuai dengan imajinasi kita sendiri. Hmmm.... akupun terinspirasi dengan komik tersebut dan akan mencobanya pada Danu dan anak-anak di kelasku. Akupun menyampaikan gagasanku ini pada Ibu Uti.

Pada saat aku sampaikan gagasanku itu, Ibu Uti meragukannya. Menurutnya Danu sudah parah dan tidak akan bisa diubah lagi. Namun aku bersikukuh untuk mencoba menerapkannya. Paling tidak, seandainya tidak berhasil…. Aku pernah mencobanya.

“Anak-anak, hari ini Ibu akan menyampaikan peraturan baru di kelas kita” Pandangan mataku menyapu seluruh mata anak-anak di kelasku satu persatu.

Kalo makan harus duduk tenang ya Bu”
“Kalau nulis harus sampai selesai….”
“Ngga boleh lari-lari dan kejar-kejaran di dalam kelas ya Bu”
“Harus antri seperti bebek kan?…”


Anak-anak langsung mengemukakan aturan-aturan yang memang sudah kami terapkan selama ini.

“Bukan, sayang….. Kali ini peraturannya baru, yaitu … setiap kali kita semua akan marah dan akan mengeluarkan kata-kata yang jelek, kita harus menahannya sampai di leher saja. Lalu kita harus mengeluarkannya menjadi kata-kata yang bagus. Nah kira-kira kata apa yang akan kita keluarkan kalau kita lagi kesal?

Merdeka! “
“Halo…”
“Ampun…”
Sayang!’
“Hore!”
“Amin!”
“Bu guru!”
Aku menuliskan kata-kata yang dikemukakan anak-anak di papan tulis. Aku menuliskannya setinggi anak-anak. (Hmmm… ternyata anak-anak didikku pandai-pandai semua…. Mereka menyampaikan idenya dengan baik).


“Nah…. Anak-anak, sekarang kita harus pilih kata-kata yang mana yang akan kita gunakan dan kita keluarkan kalau kita sedang kesal dan ingin mengeluarkan kata-kata yang jelek dan tidak enak di dengar?” kataku dengan ekspresi meminta pendapat.

“Kan tidak mungkin kita menggunakan semuanya? Nanti malah bingung..?” aku melanjutkan.

“Bu, bagaimana jika kita lakukan pemilihan, setiap anak membuat garis tegak di sebelah kata-kata yang dipapan tulis?” Ibu Uti menyampaikan sarannya.

“Bagaimana anak-anak?” tanyaku meminta pendapat anak-anak.

Ternyata semua anak setuju. Maka pemilihan pun dilakukan. Setiap anak maju satu persatu ke papan tulis dan menuliskan garis tegak di depan kata-kata yang dipilihnya. Bagi anak yang belum bisa membaca aku dan Bu Uti membacakan kata-kata tersebut hingga dia bisa menentukan pilihannya dengan tepat. Setelah semua memberikan pilihannya, termasuk aku dan Ibu Uti, maka hasilnya dihitung bersama-sama. Kemudian disepakati kata yang akan digunakan adalah “Hore!” dan “merdeka!” Hari ini disepakati juga bahwa individu yang melanggar akan mendapat sanksi yaitu akan di teriaki dengan teriakan “Huuuu!” lalu disuruh melompat dengan dua kaki sebanyak lima kali.


"Sepakat?"
"Sepakat!"

"Oh... ya, kata-kata jelek yang tidak boleh diucapkan apa saja yaa....?" Tanyaku kembali meminta pendapat anak-anak.

"Ngatain Anjing!...."
"Ngatain monyet!"
"Bilang bangsat sama sialan!"
"Ngatain bu guru jelek"

"Ok...ok... pokoknya semua kata dan kalimat yang kurang baik tidak boleh diucapkan di sekolah maupun di rumah atau dimana saja. Setiap kalian mau berkata-kata... kalian harus berpikir dahulu.... kata itu bagus atau tidak... kalau jelek harus diganti dengan kata "hore atau merdeka" Aku menjelaskan panjang lebar.

"Bagaimana, anak-anak? sepakat kan?"

"Sepakat!" anak-anak berteriak secara serempak.




Keesokan harinya mulailah peraturan baru tersebut.

“ Bu guru.aku mau…E….hore!” Dimas memulai dengan agak malu-malu.
“ Boleh sayang, kamu boleh hore di kamar mandi ya…?” aku menanggapinya sambil tersenyum.



“Dasar sialan!” tiba-tiba Danu berteriak karena kertas yang sedang diwarnainya sobek.
“Huuuuu….” Seluruh murid meneriaki Danu.
Danu tampak bingung dan hampir marah. Dia menarik napas panjang dan bersiap-siap memuncratkan kata-kata dan kalimat yang biasa dia keluarkan….

“Danu… sesuai kesepakatan…. Kamu boleh berteriak dan mengeluarkan kata-kata “hore” atau “merdeka” jika kamu ingin mengumpat dan mengeluarkan kata-kata yang biasa kamu ucapkan”

“Uuuhhh…. Bu guru… hore” teriak Danu
“Aku “merdeka” sama bu guru “ Danu melanjutkan kembali dengan wajah merah merona.



Pada awalnya memang anak-anak masih kesulitan dan masih suka lupa. Terutama Danu. Satu minggu pertama dia hampir setiap saat disoraki teman-temannya dan melompat-lompat dengan dua kaki di tempat sebanyak 5 kali. Namun setelah beberapa kali disoraki, dia tidak lagi emosi, dia hanya tersenyum setelah disoraki, sambil menutup mulutnya.

Setelah satu bulan menerapkan aturan ini, tampak banyak perubahan yang terjadi pada anak-anak didikku. Mereka bisa nyambung dengan kalimat yang diucapkan temannya meskipun diganti dengan kata-kata merdeka atau hore. Selain itu, anak-anak juga tampak menjadi lebih sabar dan tidak mudah marah. Mereka juga lebih bisa mengetahui dan mengakui kesalahannya dan dapat segera memperbaikinya.

Perubahan yang sangat besar terjadi pada Danu. Dia tidak lagi senang mengumpat dan mengeluarkan kata-kata kasar dan jorok. Saat hendak marah, dia akan terdiam dahulu sesaat sebelum akhirnya mengeluarkan kata “hore” dan/atau “merdeka”. Danu menjadi lebih sabar dan wajahnya semakin sumringah serta lucu. Dia selalu tersenyum dan semakin menggemaskan.

Menurut Mamanya, di rumah, Danu mengajarkan cara yang sama pada teman-teman mainnya. Meskipun teman-temannya lebih besar dan lebih tua usianya dibanding Danu. Papanya pun melakukan hal yang sama dan manyatakan bahwa cara ini sangat efektif diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dia menjadi lebih bisa menahan emosi dan berpikir lebih panjang sebelum mengungkapkan isi hatinya. Hal ini karena Danu selalu protes jika papanya mengeluarkan kata-kata yang kurang baik.

Hmmm….. aku senang. Meskipun strategi yang aku terapkan terkesan main-main dan tidak serius namun bisa menghasilkan sesuatu yang aku anggap “cukup bermakna”. Strategi ini bisa digunakan untuk menangani anak-anak yang “suka” atau “terbiasa” bicara kasar dan/atau kotor. Memang hal ini bersifat kasuistik tetapi tidak ada salahnya strategi atau cara ini dicoba untuk menangani kasus yang sama. Aku hanya ingin berbagi dan menyampaikan pengalamanku sebagai guru. Semoga bisa bermanfaat bagi teman-teman guru dimanapun Anda mengajar.

Akhir kata saya ingin menyampaikan bahwa “tidak ada satu metode/strategi/cara yang terbaik untuk satu pembelajaran tertentu dan tidak ada satu pembelajarn yang paling baik hanya dengan menggunakan satu strategi/metode/cara saja. Semuanya sebaiknya dilakukan secara sistematik, berkesinambungan dan terpadu hingga hasil yang diperoleh merupakan hasil yang paling optimal”


Salam,
“Anak kita adalah masa depan dunia. Perilaku mereka adalah cermin pendidikan kita”