Senin, 09 Februari 2009

“SMURF” STRATEGI UNTUK MENANGANI ANAK YANG SUKA BICARA "JELEK"

“Dasar! Bu guru jelek!”
“Bego Luh!”
“Sialan… Brengsek… Anjing Luh…”
Ucapan-ucapan tersebut seringkali kudengar dari mulut seorang muridku yang berwajah imut.

Danu (sebut saja begitu namanya) adalah anak yang lucu. Usianya baru 4 tahun. Wajahnya imut dengan pipi gembul seperti Bakpau. Pipinya selalu bersemu merah seperti udang yang baru diangkat dari rebusan. Sebenarnya dia adalah anak yang menyenangkan dan menggemaskan. Tubuhnya yang gempal dan bullet membuatnya disenangi semua guru dan staf di sekolah. Namun ada satu hal pada dirinya yang kurang disukai. Danu seringkali berkata kasar dan kotor. Saat dia marah atau kecewa maka nama-nama binatang di kebun binatangpun bermuncratan dari mulutnya. Bahkan dia tak peduli siapa lawan bicaranya, kata-kata itu tetap saja akan segera keluar dari terowongan di mulutnya seperti air bah yang tak bisa dibendung.

Aku sebagai gurunya, sering kali terperangah dan terjengah jika mendengar kata-kata dan kalimat “aneh” atau bahkan “beracun” itu keluar dari mulutnya. Bukan hanya kepada teman-temannya Danu melontarkan “racun” tersebut. Iapun kerap memuncratkan kata-kata tersebut kepada mamanya bahkan kepadaku sebagai gurunya atau bahkan kepada orang tua lain yang kebetulan menyinggung perasaannya.

Aku mencoba mencari tahu mengapa Danu sering kali bersikap dan berkata-kata kasar seperti itu. Aku bertanya pada mamanya yang selalu mengantarnya ke sekolah. Informasi yang kudapat adalah bahwa Danu suka sekali menonton film kartun di televisi. Film yang disukai adalah Shincan dan Ranger. Danu juga suka sekali bermain dengan teman-temannya di luar kompleks perumahan. Hampir setiap sore dia bermain bersama anak-anak “kampung” (mamanya menyebut demikian untuk anak-anak yang tinggal di luar di kompleks tersebut). Menurutnya teman main Danu tersebut hampir semua adalah anak-anak yang berusia di atas Danu dan sudah duduk di bangku SD maupun SMP. Danu juga dekat sekali dengan pembantunya yang lumayan cerewet dan cenderung banyak bicara. Mama Danu mengatakan, bahwa dirinya serta papanya Danu sering menegur Danu bahkan tidak jarang memarahi atau bahkan memukul mulut Danu saat anak tersebut mengeluarkan kata-kata yang kurang baik tersebut. Namun hal itu belum berhasil merubahnya bahkan perkataan Danu semakin hari semakin kasar dan kotor. Kata-kata (mungkin lebih pantas jika disebut umpatan) yang paling sering diucapkan adalah (Maaf…!) “Anjing!, Babi!, Monyet!, Bangsat!, Sialan!, pelacur!, Jelek!, Tai!, Tai Kucing!, Mampus!” (Woooow banyak banget yaaa?).

Setelah mendapatkan data-data tersebut, aku kemudian berembug dengan guru yang membantuku di kelas. Oh… ya, di kelas (ruangan kelas) ini aku mengajar berdua untuk 2 kelompok. Aku wali kelas kelompok B2 dan Ibu Uti, wali kelas kelompok B1. Kami masuk pagi dan siang secara bergantian. Pergantian waktu ini dilakukan sebulan sekali. Saat kelompok B2 belajar maka Ibu Uti bertindak sebagai guru bantu demikian pula sebaliknya.

Kembali… ke Lap top…..

Aku dan Bu Uti mencoba menelaah dan menganailis data yang sudah kami peroleh dari mama Danu. Selain itu kami juga mencari informasi pada pihak-pihak lain seperti pembantu yang sering menemani Danu di rumah, anak-anak yang sering bermain bersama Danu dan aku juga mencoba menonton film (kesukaan Danu) Shincan dan Ranger yang ditayangkan di salah satu stasiun televisi.

Hasil yang kami peroleh adalah bahwa semua hal tersebut sangat mendukung dan menyuport Danu untuk berkata-kata kasar. Teman-temannya di sekitar rumah memang sering mengeluarkan umpatan dengan kata-kata kasar dan kotor saat bermain. Meskipun mereka melakukannya sambil bercanda dan tertawa-tawa. Tokoh Shincan juga tak jarang mengucapkan kata-kata yang kurang baik dan kurang enak di dengar dan tokoh yang digemari anak-anak ini sering menunjukkan sikap melawan atau berbuat tidak sopan pada orang tuanya (terutama ibunya). Demikian pula dengan film Ranger yang sering mengeluarkan ungkapan yang tidak layak didengar anak-anak (padahal film ini kan untuk konsumsi anak-anak ya?). Sedangkan pembantu yang dekat dengan Danu sering kali “latah” dan mengelurkan kata-kata yang sama jorok dan kasarnya dengan anak-anak “kampung” yang tinggal di sekitar kompleks tersebut. Data yang tak kalah mengejutkan adalah bahwa ternyata ayah Danu, saat marah juga akan sangat meledak-ledak dan juga akan mengeluarkan kata-kata umpatan yang “WOW!”

Semalaman aku ngubek-ngubek buku-buku, teori dan berbagai diktat serta makalah hasil seminar yang aku miliki. Setelah berkutat dengan buku-buku, diktat dan kertas-kertas tersebut dan setelah aku berpikir dan merenung cukup lama. Aku pindah ke kamar anakku. Aku coba-coba mencari inspirasi dari buku-buku milik anakku yang sekarang sudah mulai ABG (Anak Baru Gede). Tiba-tiba, aku menemukan buku cerita anak (komik) diantara tumpukan buku-buku usang. Hmmm... komik ini paling kusuka saat aku masih anak-anak (bahkan sampai aku remaja dan masih sampai sekarang). Aku juga ingat, anak-anakku suka banget dengan komik ini. Yaa… buku itu adalah komik SMURF. Dalam komik itu, para smurf mengganti kata-kata tertentu dengan kata "smurf" dan kita para pembacanya harus berpikir untuk menerjemahkannya. Kita harus mengartikan kalimat yang diucapkan dan nge pas-pas in sendiri, sesuai dengan imajinasi kita sendiri. Hmmm.... akupun terinspirasi dengan komik tersebut dan akan mencobanya pada Danu dan anak-anak di kelasku. Akupun menyampaikan gagasanku ini pada Ibu Uti.

Pada saat aku sampaikan gagasanku itu, Ibu Uti meragukannya. Menurutnya Danu sudah parah dan tidak akan bisa diubah lagi. Namun aku bersikukuh untuk mencoba menerapkannya. Paling tidak, seandainya tidak berhasil…. Aku pernah mencobanya.

“Anak-anak, hari ini Ibu akan menyampaikan peraturan baru di kelas kita” Pandangan mataku menyapu seluruh mata anak-anak di kelasku satu persatu.

Kalo makan harus duduk tenang ya Bu”
“Kalau nulis harus sampai selesai….”
“Ngga boleh lari-lari dan kejar-kejaran di dalam kelas ya Bu”
“Harus antri seperti bebek kan?…”


Anak-anak langsung mengemukakan aturan-aturan yang memang sudah kami terapkan selama ini.

“Bukan, sayang….. Kali ini peraturannya baru, yaitu … setiap kali kita semua akan marah dan akan mengeluarkan kata-kata yang jelek, kita harus menahannya sampai di leher saja. Lalu kita harus mengeluarkannya menjadi kata-kata yang bagus. Nah kira-kira kata apa yang akan kita keluarkan kalau kita lagi kesal?

Merdeka! “
“Halo…”
“Ampun…”
Sayang!’
“Hore!”
“Amin!”
“Bu guru!”
Aku menuliskan kata-kata yang dikemukakan anak-anak di papan tulis. Aku menuliskannya setinggi anak-anak. (Hmmm… ternyata anak-anak didikku pandai-pandai semua…. Mereka menyampaikan idenya dengan baik).


“Nah…. Anak-anak, sekarang kita harus pilih kata-kata yang mana yang akan kita gunakan dan kita keluarkan kalau kita sedang kesal dan ingin mengeluarkan kata-kata yang jelek dan tidak enak di dengar?” kataku dengan ekspresi meminta pendapat.

“Kan tidak mungkin kita menggunakan semuanya? Nanti malah bingung..?” aku melanjutkan.

“Bu, bagaimana jika kita lakukan pemilihan, setiap anak membuat garis tegak di sebelah kata-kata yang dipapan tulis?” Ibu Uti menyampaikan sarannya.

“Bagaimana anak-anak?” tanyaku meminta pendapat anak-anak.

Ternyata semua anak setuju. Maka pemilihan pun dilakukan. Setiap anak maju satu persatu ke papan tulis dan menuliskan garis tegak di depan kata-kata yang dipilihnya. Bagi anak yang belum bisa membaca aku dan Bu Uti membacakan kata-kata tersebut hingga dia bisa menentukan pilihannya dengan tepat. Setelah semua memberikan pilihannya, termasuk aku dan Ibu Uti, maka hasilnya dihitung bersama-sama. Kemudian disepakati kata yang akan digunakan adalah “Hore!” dan “merdeka!” Hari ini disepakati juga bahwa individu yang melanggar akan mendapat sanksi yaitu akan di teriaki dengan teriakan “Huuuu!” lalu disuruh melompat dengan dua kaki sebanyak lima kali.


"Sepakat?"
"Sepakat!"

"Oh... ya, kata-kata jelek yang tidak boleh diucapkan apa saja yaa....?" Tanyaku kembali meminta pendapat anak-anak.

"Ngatain Anjing!...."
"Ngatain monyet!"
"Bilang bangsat sama sialan!"
"Ngatain bu guru jelek"

"Ok...ok... pokoknya semua kata dan kalimat yang kurang baik tidak boleh diucapkan di sekolah maupun di rumah atau dimana saja. Setiap kalian mau berkata-kata... kalian harus berpikir dahulu.... kata itu bagus atau tidak... kalau jelek harus diganti dengan kata "hore atau merdeka" Aku menjelaskan panjang lebar.

"Bagaimana, anak-anak? sepakat kan?"

"Sepakat!" anak-anak berteriak secara serempak.




Keesokan harinya mulailah peraturan baru tersebut.

“ Bu guru.aku mau…E….hore!” Dimas memulai dengan agak malu-malu.
“ Boleh sayang, kamu boleh hore di kamar mandi ya…?” aku menanggapinya sambil tersenyum.



“Dasar sialan!” tiba-tiba Danu berteriak karena kertas yang sedang diwarnainya sobek.
“Huuuuu….” Seluruh murid meneriaki Danu.
Danu tampak bingung dan hampir marah. Dia menarik napas panjang dan bersiap-siap memuncratkan kata-kata dan kalimat yang biasa dia keluarkan….

“Danu… sesuai kesepakatan…. Kamu boleh berteriak dan mengeluarkan kata-kata “hore” atau “merdeka” jika kamu ingin mengumpat dan mengeluarkan kata-kata yang biasa kamu ucapkan”

“Uuuhhh…. Bu guru… hore” teriak Danu
“Aku “merdeka” sama bu guru “ Danu melanjutkan kembali dengan wajah merah merona.



Pada awalnya memang anak-anak masih kesulitan dan masih suka lupa. Terutama Danu. Satu minggu pertama dia hampir setiap saat disoraki teman-temannya dan melompat-lompat dengan dua kaki di tempat sebanyak 5 kali. Namun setelah beberapa kali disoraki, dia tidak lagi emosi, dia hanya tersenyum setelah disoraki, sambil menutup mulutnya.

Setelah satu bulan menerapkan aturan ini, tampak banyak perubahan yang terjadi pada anak-anak didikku. Mereka bisa nyambung dengan kalimat yang diucapkan temannya meskipun diganti dengan kata-kata merdeka atau hore. Selain itu, anak-anak juga tampak menjadi lebih sabar dan tidak mudah marah. Mereka juga lebih bisa mengetahui dan mengakui kesalahannya dan dapat segera memperbaikinya.

Perubahan yang sangat besar terjadi pada Danu. Dia tidak lagi senang mengumpat dan mengeluarkan kata-kata kasar dan jorok. Saat hendak marah, dia akan terdiam dahulu sesaat sebelum akhirnya mengeluarkan kata “hore” dan/atau “merdeka”. Danu menjadi lebih sabar dan wajahnya semakin sumringah serta lucu. Dia selalu tersenyum dan semakin menggemaskan.

Menurut Mamanya, di rumah, Danu mengajarkan cara yang sama pada teman-teman mainnya. Meskipun teman-temannya lebih besar dan lebih tua usianya dibanding Danu. Papanya pun melakukan hal yang sama dan manyatakan bahwa cara ini sangat efektif diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dia menjadi lebih bisa menahan emosi dan berpikir lebih panjang sebelum mengungkapkan isi hatinya. Hal ini karena Danu selalu protes jika papanya mengeluarkan kata-kata yang kurang baik.

Hmmm….. aku senang. Meskipun strategi yang aku terapkan terkesan main-main dan tidak serius namun bisa menghasilkan sesuatu yang aku anggap “cukup bermakna”. Strategi ini bisa digunakan untuk menangani anak-anak yang “suka” atau “terbiasa” bicara kasar dan/atau kotor. Memang hal ini bersifat kasuistik tetapi tidak ada salahnya strategi atau cara ini dicoba untuk menangani kasus yang sama. Aku hanya ingin berbagi dan menyampaikan pengalamanku sebagai guru. Semoga bisa bermanfaat bagi teman-teman guru dimanapun Anda mengajar.

Akhir kata saya ingin menyampaikan bahwa “tidak ada satu metode/strategi/cara yang terbaik untuk satu pembelajaran tertentu dan tidak ada satu pembelajarn yang paling baik hanya dengan menggunakan satu strategi/metode/cara saja. Semuanya sebaiknya dilakukan secara sistematik, berkesinambungan dan terpadu hingga hasil yang diperoleh merupakan hasil yang paling optimal”


Salam,
“Anak kita adalah masa depan dunia. Perilaku mereka adalah cermin pendidikan kita”

1 komentar:

  1. Masalahnya, bagaimana bikin bu guru sebaik itu ya? Berapa persen yang dah kaya gitu?

    BalasHapus