Rabu, 11 November 2009

IBU GURU CENTIL

Pendahuluan
Kisah ini aku alami saat aku mengajar di kelompok B. Kisah ini salah satu strategi atau metoda yang aku dapatkan tanpa di sengaja. Mungkin ini hanya sebuah kasus yang tidak dapat digeneralisir. Namun pengalaman ini dapat menjadi inspirasi bagi guru atau pendidik lain dimanapun berada. Terutama bagi mereka yang mengalami atau memiliki murid yang hampir sama dengan muridku ini, yaitu anak yang menderita Autism yang berada pada tingkatan ringan. Semoga tulisan ini dapat memberi pencerahan bagi guru TK dimanapun berada.


Isi Cerita
Saat ini aku mengajar di TK kelompok B. Murid-muridku rata-rata berusia 5 – 6 tahun. Hampir semua muridku tergolong anak-anak yang normatif (memiliki perkembangan yang normal). Namun ada satu anak, namanya Ami. Saat masuk ke kelasku.... dia sudah dari kelompok A. Jadi tahun ini adalah tahun kedua di TK baginya.
Ami adalah anak dengan kebutuhan khusus. Dia menderita autism pada taraf yang ringan. Sejak pertama kali masuk ke kelasku, aku sudah mulai mengobservasi dan memperhatikan segala gerak-gerik dan perilaku Ami.
Dari segi fisik, Ami tidak menunjukkan perbedaan dengan teman-teman sebayanya. Tubuhnya tinggi kurus, rambutnya lurus dan selalu tersisir rapi. Matanya jernih dan pendengarannya juga termasuk normal. Jika dipanggil, dia akan menengok, meskipun belum pernah dia menyahut dan memperdengarkan suaranya.
Perilaku Ami juga tidak terlalu menunjukkan jika dia menderita autism. Kebiasaannnya yang dilakukannya saat datang di pagi hari adalah mencariku dan menyalamiku, lalu meletakkan tasnya di tempat yang telah ditentukan. Setelah itu dia akan keluar lagi dan bermain di ayunan. Ayunan yang digunakan adalah ayunan yang berwarna merah. Ami tidak pernah berpindah pada ayunan yang lain Aku tak tahu mengapa dia selalu duduk dan bermain-main di ayunan tersebut. Padahal di TK kami ayunan cukup banyak. Di halaman depan ada 4 buah ayunan. Dua bertali rantai besi dan 2 lagi bertali tambang yang cukup besar. Di halaman belakang terdapat dua lagi ayunan yang terletak di bawah pohon belimbing. Ayunan ini sangat diminati anak-anak, karena letaknya di tempat yang teduh dan ayunannya tidak terlalu tinggi.
Di ayunan, Ami tidak bermain sesuai fungsi ayunan tersebut. Dia hanya duduk di situ deengan posisi miring ke salah satu tali lalu dia asyik sendiri memainkan kuku atau rambutnya. Dia tidak peduli pada suasana lingkungan di sekitarnya. Dia asyik dengan kegiatannya sendiri. Dia juga tidak pernah mau berbagi ayunan tersebut dengan anak lain.
Saat bunyi bel tanda waktunya pembelajaran akan dimulai, Ami akan berlari seperti anak-anak yang lain. Dia akan segera menuju halaman depan kelas tempat seluruh anak berkumpul untuk berbaris. Ami juga sudah tahu dimana posisi anak-anak kelompok B yang sekelas dengannya. Aku tidak perlu memanggil atau menyuruhnya berbaris dengan baik. Dia telah dapat melakukan semua itu sendiri dan dia sangat tertib.
Di dalam kelas, Ami selalu duduk pada kursi yang sama yang terletak pada kelompok yang berada tepat di depan meja guru. Namun dia memilih kursi yang paling jauh dengan ibuguru. Walaupun demikian, aku tetap bisa memandang dan mengawasinya setiap saat.
Penataan kursi dalam kelasku memang aku bagi dalam tiga kelompok hingga posisinya membentuk huruf U. 10 kursi di bagian kiri, 8 kursi di bagian tengah dan 10 kursi lagi di bagian kanan. Setiap anak mendapat satu meja dan satu kursi. Setiap anak duduk berhadapan dengana satu anak lainnya. Nah… Ami duduk di kursi pojok pada sayap kanan. Di depannya sering kali anak laki-laki.
Hampir setiap hari, kegiatan utama Ami adalah menggigiti kuku tangannya. Sudah berulang kali dinasehati namun hal itu tetap menjadi keasyikan baginya. Kuku pada tangannya bahkan hampir habis digigitinya. Jika dia bosan dengan kuku tangannya, dia akan mulai menaikan kakinya ke atas meja lalu mulai menggigiti juga kuku kakinya. Segala usaha telah aku lakukan, namun tak jua membuatnya berhenti menggigiti kuku kakinya.
Hal lain yang menjadi pemikiranku adalah, Ami tidak pernah mau bicara. Padahal, saat dia sendirian beberapa kali aku mendengar suaranya. Meskipun hanya sepatah-sepatah. Aku benar-benar penasaran. Mengapa dia tak jua mau bicara meskipun sudah dipancing dengan berbagai cara.
Siang itu saat istirahat, aku menemukan sebuah jepit rambut kecil berbentuk stroberry berwarna merah dengan bintik-bintik hitam. Karena sudah waktunya masuk kelas dan anak-anak harus segera dipulangkan, maka jepit tersebut aku jepitkan di rambutku yang memang tergerai panjang. Jepit tersebut aku jepitkan ke rambut bagian depan hingga rambutku tertarik ke belakang. Hmm… tampak aneh memang, mengingat usiaku yang sudah tidak muda lagi.
Aku masuk ke kelasku dan meminta anak-anak untuk membuat setengah lingkaran di karpet karena sekarang saatnya mengulas kegiatan yang tadi sudah dilakukan.
Tiba-tiba Ami menghampiriku.
“Tami…!” suaranya terdengar kecil melengking.
“Ada apa sayang” tanyaku terheran-heran.
“Tami…!” suaranya kembali terdengar, pelan namun cukup tinggi dan jelas.
“Iya…. Ami mau apa?” tanyaku sambil mengelus pipinya.
“Nuuuh…..” suaranya terdengar halus

Ami tampak memandangiku tanpa berkedip. Aku bingung sendiri. Ada apa sebenarnya, apa yang Ami inginkan? Apa yang Ami maksudkan? Apa yang dia katakan?
“Sebentar ya Sayang, sekarang kita bercakap-cakap dulu ya…..” Aku mendudukan Ami di sebelahku. Dia duduk di sampingku, namun pandangan matanya tetap menatap ke arahku, seolah takut ada yang hilang saat dia berkedip.

Setelah semua anak pulang, aku mengajak Ami duduk di halaman sekolah.
“Nah… sekarang kita tinggal bersua, Ami mau apa?” tanyaku sambil menatap matanya.
“Tami…. Tami…” teriaknya masih dengan sera yang melengking.
“Iya…. Ini Ibu Tatmi. Ami mau apa dari Ibu Tatmi? Tanya ku mencoba memperjelas uacapannya.
“Nuuuh…..” matanya menatap kea rah rambutku.
“Ada apa di rambut Ibu Tatmi?” tanyaku sambil mengusap rambutku. Dan Ups…. Aku menyentuh jepit yang tadi kupasang di rambutku. Rupanya aku lupa kalau saat ini aku mengenakan jepit rambut.
Aku tarik dan aku lepas jepit tersebut, lalu aku arahkan ke hadapan Ami.
“Ami suka jepit ini? Tanyaku sambil menunjukkan jepit itu.
“Ka…..” Ami menjawab sambil tertawa terkekeh-kekeh
“Ami suka?” tanyaku lagi
“Ka….ka…” Ami menjawab sambil melompat-lompat kecil di hadapanku.
“Oooo…. Su… ka… coba Ami bilang… suuu…kaaaa” kucoba menuntunnya secara perlahan.
“Suuu… ka…. “ Ami mengikuti kata-kataku sambil tertawa-tawa dan melomp[at-lompat.
“Ami mau?” tanyaku
“Suuu…kaaa….” Jawab Ami tetap sambil melompat-lompat.
“Bilang… maa…uuuuu…” aku menuntunynya untuk mengucapkan kata “ mau”.
“Mauuuu…..” Dia beretriak sambil berusaha mengambil jepit yang ada di tanganku.
“Pandai… Nah…. Ini untuk Ami…. Tapi bilang dulu… terima kasih Bu….” Kataku sambil mengangkat jepit itu tinggi-tinggi hingga Ami tidak dapat menjangkaunya.
“Ciiihhh….”teriak Ami.
“Terima……. “ aku coba menuyntunnya secara perlahan.
“Timaaa….” Ami menirukan ucapanku
“Kassiiih…” aku melanjutkan
“Kacih…. “ sahut Ami.
Aku memberikan jepit itu padanya lalu mengantar Ami ke jemputannya.

Aku merasa bahagiaaa sekali…. karena hari ini aku bisa mengajak dan meminta Ami mengeluarkan suara kepadaku. Dia meresponku. Aku bahagiaaa sekali. Walaupun berarti aku harus mencari dan membeli jepit yang sama persis dengan yang diminta Ami karena itu kan bukan milikku dan aku harus mengembalikan pada anak yang kehilangan. Tapi aku tak peduli aku benar-benar bahagia.

Esoknya aku benar-benar beruah menjadi guru yanag centil. Setiap hari aku memakai jepit yang berbesa-beda, berganti-ganti model dan warnanya. Setiap pulang mengajar aku selalu mampir di pasar dan mencari jepit rambut yang lucu-lucu dan menarik. Semua ini aku lakukan untuk menarik perhatian Ami dan agar Ami mau bicara dan bercakap-cakap denganku.

Memang usahaku tidak sia-sia. Meskipun ucapan-ucapan Ami kadang hanya satu suku kata, tidak jelas dan perlu pemikiran lebih ldalam, namun aku senang karena Ami benar-benar menanggapi setiap pertanyaan yang aku ajukan. Saat di minta memilih jepit mana yang dia inginkan, dia akan menunjuk pilihannya. Saat kutanya kenapa dia suka yang ini, dia akan menjawab alasannya. Misalnya “ning…” artinya dia suka jepit itu karena warnanya kuning.

Penutup
Beberapa hal yang aku dapatkan tentang Ami( penderita Autism tingkatan yang ringan)
- Anak suka asyik sendiri dengan dirinya sendiri
- Anak tidak peduli apapun yang terjadi di sekitarnya
- Apabila dia berminat pada sesuatu maka dia akan mengejar sampai mendapatkan
- Masih bisa dan mau merespon asal pendidik sabar menanggapinya
- Anak autispun bisa menentukan pilihan sesuai minatnya dan member alas an pilihannya.
- Guru/pendidik perlu kepekaan khusus untuk menanganai anak karena setiap anak memiliki keunikan tersendiri.
- Guru harus kreatif dan penuh ide untuk menangani anak yang memiliki kebutuhan khusus

Tidak ada komentar:

Posting Komentar